"Pokoknya kalo kamu belum bisa menyelesaikan soal ini, jangan duduk dulu" ucap guru matematika kepadaku dan dua orang temanku.
Waktu itu masih menunjukkan pukul 08.00. Tepat satu jam kami menjalani hukuman untuk terus berdiri didepan kelas karena kesulitan mengerjakan soal matematika.
Bagiku matematika adalah salah satu pelajaran yang amat menyulitkan. Bermain dengan angka dan segala permasalahannya, membuatku muak. Tak salah bukan jika pelajaran satu itu adalah pelajaran yang kubenci.
Bukan perkara pelajarannya saja tapi juga dengan fasilitatornya. Namanya pak Alex. Killer adalah nama belakangnya. Keidentikannya dengan ranting kayu legendnyalah yang membuat semua murid menyematkan kekilleran di akhir namanya.
Tahu bukan fungsi dari tongkat bawaan guru killer apa? Ya, benar ranting kayu itu untuk menyapa murid-muridnya yang mbengkaleng.
Termasuk aku dan kawanku ini yang tidak paham-paham dengan materi yang diajarkannya. Lebih tepatnya malas memahaminya. Padahal kalau kata murid yang lain pelajaran ini masih masuk kategori mudah.
Kami yang masih berdiri di depan papan tulis inilah yang sudah pernah merasakaan sapaan tongkat legendnya. Di tanya sakit sih ya pasti sakit, kayu lho yang dilayangkan ke kita. Sasarannya tidak hanya kelasku saja tapi kelas lain pun juga sama.
Banyak yang tidak suka dengan Pak Alex, karena beliau sering menghukum muridnya. Aku pun juga sebenarnya gak suka dengan beliau karena sering memainkan tongkatnya itu.
Pukulan kecil hingga besar sudah pernah dipertontonkan beliau, tujuannya satu membuat kami jera, dan berbenah diri. Waktu itu aku masih belum memahami konsepnya yang sering mengajar murid dengan membawa ranting.
Satu tahun pun telah usai. Aku dan teman-temanku sudah naik ke kelas 8. Kelas dimana guru matematika nya sudah bukan Pak Alex lagi. Namun sialnya ibarat kata keluar kandang macan tapi masuk kandang singa, guru matematika di kelas 8 lebih killer dari Pak Alex.
Beni, nama guru matematikaku di kelas 8. Saking killernya beliau, banyak murid yang amat sangat takut kepadanya.