Fenomena kasus Korupsi Daging Sapi yang terkait dengan Ahmad Fattanah cukup menggegerkan. Lebih lagi korupsi tersebut menyenggol sosok-sosok perempuan cantik yang muncul beriringan.Ayu Azhari, Vitaliashesya , Maharani pun muncul sebagai suguhan intens media bagi masyarakat terkait dengan citra negatif korupsi Fattanah tersebut. Kondisi ini membuat citra perempuan semakin terpuruk keberadaannya. Tak bisa disangkal setiap orang butuh materi, khususnya perempuan, namun semudah itukah harga diri ditukar dengan uang. Mungkin ini akan berbeda cerita ketika Ahmad Fattanah membagikan uang hasil korupsinya kepada laki-laki, namun kemudian justru dibuat “spektakuler” dengan adanya perempuan-perempuan cantik tersebut.
Cukup aneh ketika setiap perempuan cantik di sekeliling Fattanah tersebut ditanya mengenai kedekatan mereka dengan Fattanah, mereka menyangkal, tapi sanggahan mereka tidak bisa sinkron dengan alasan mereka menerima uang yang notabene berasal dari hasil korupsi Fattanah. Meski sekalipun mereka tidak tahu bahwa itu adalah uang korupsi, lalu apakah wajar bila seorang perempuan menerima uang dalam jumlah besar tanpa mengetahui latar belakang kenapa sang pria memberikan uang tersebut. Namun disisi lain, itu adalah hak mereka sehingga ketika pihak KPK meminta kepada para perempuan-perempuan tersebut untuk mengembalikan uangnya juga secara tegas menurut saya tidak benar, karena pada dasarnya yang bertanggung jwab besar terhadap permasalahan ini adalah Fattanah sendiri.
Masih menggelitik dipikiran saya, sebenarnya Fattanah melakukan korupsi untuk atau karena perempuan. Dalam artian Fattanah sudah korupsi terlebih dahulu, lalu merasa kaya dan membagi-bagikan uang korupsinya atau justru dia telah mengenal perempuan-perempuan tersebut dan membutuhkan uang cukup banyak untuk menghidupi perempuan-perempuannya sehingga perlu korupsi? Mungkin semuanya akan terjawab setelah kasus ini ditelisik lebih jauh oleh KPK.
Satu hal yang menarik dalam permasalahan ini adalah tanpa sadar disini ada bias gender. Media seakan mem – blow up kasus secara berlebihan ketika masalah-masalah ini cenderung menimpa perempuan. Hal ini mungkin perlu mendapat perhatian kita, media seharusnya dapat menempatkan konstruksi realitasnya tanpa harus menampakkan bias dari gender antara laki-laki dan perempuan, karena dengan menampilkan konstruksi yang berlebihan (pada kasus ini khususnya) akan menampilkan CITRA bahwa “seakan-akan perempuan dapat dibeli dengan uang “ . Satu hal bahwa tidak perempuan sama sehingga keberadaan media untuk idealis ketika memberitakan suatu hal khususnya yang dekat dengan isu gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H