Politisi akan selalu oportunis
Tahun 2019, Prabowo menjadi lawan politik dari Jokowi saat pemilihan umum, hingga membuat guncang dunia politik Indonesia saat itu, saya banyak melihat perdebabatan pendukung kedua kubu cukup aktif setiap hari di media sosial, mulai dari debat standart hingga ada yang sampai baku pukul mempertahankan argumentnya masing-masing. Perdebatan mulai dari hal remeh sepele jauh dari hal esensial hingga hal berat, misal ketegasan dalam tata Kelola pemerintahan, penanganan kasus korupsi hingga penanganan kasus HAM. Dalam demokrasi politik, perdebatan kubu pendukung merupakan hal yang biasa terjadi, di amerika, perdebatan antara kubu pendukung republic dan democrat, kerap terjadi dalam keseharian. Perdebatan cukup besar pun sempat terjadi antara Soekarno dan Natsir saat merumuskan konsep hubungan antara agama dan negara di indonesia. Soekarno yang saat itu dianggap sebagai perwakilan kelompok nasionalis sekuler yang memperjuangkan dengan tegas pemisahan antara negara dan agama. Sementara pada kubu lain, ada Natsir dianggap sebagai perwakilan golongan nasionalis islami yang menginginkan hubungan yang erat antara islam dan negara indonesia. Saat tulisan ini dibuat pun say abaca mengenai "gemuk"nya koalisis Prabowo di pemerintahan mendatang, dengan menggandeng banyak "lawan" politiknya, yang cukup membuat terkejut adalah gabungnya PKS ke pemerintahan mendatang, ternyata menjadi oposisi itu berat ya bos.. hehehe Â
Kembali ke pemilu 2019, tak lama, pasca Jokowi dinyatakan menang dalam pemilu 2019, terpilih menjadi presiden dan dilantik, maka Prabowo diangkat pula oleh mantan lawan politiknya tersebut menjadi Menteri pertahanan pada oktober 2019. Tujuan seseorang berpolitik itu menurut aristoteles politik adalah Jumlah orang yang berkuasa (duduk dalam pemerintahan) yang memiliki akhlak, namun kita kesampingkan kalimat "memiliki akhlak" ini karena akan menciptakan multifasir, lanjutnya Aristoteles pun menambahkan, politik itu cara dan kepentingan dalam menjalankan pemerintah di haruskan keberpihakan kepada kepentingan kesejahteraan masyarakat, lagi lagi, saya kesampingkan terlebih dahulu kata "kesejahteraan Masyarakat", karena akan menimbulkan multitafsir. Saya pun kemudian paham betapa nikmatnya menjadi seorang politisi besar, beragam privilege didapatkan, mulai dari pengawalan dari aparat hingga kewenangan akan suatu peraturan, baik di daerah atau pada Tingkat nasional, banyaknya lingkungan sekitar selalu menaruh hormat, selalu dielu-elukan, menjadi pusat perhatian, dan lain sebagainya. Secara psikologis, beragam hak Istimewa secara sosial tersebut kemudian seakan menjadi orgasme yang dicari oleh banyak dicari oleh manusia. Diambil dari artikel di detik.com, Kata privilege sendiri berasal dari bahasa Latin yakni privilegium, artinya hukum hanya untuk satu orang, kesimpulannya, privilege merupakan keuntungan atau kesempatan khusus untuk melakukan sesuatu, yang tidak dimiliki kebanyakan orang, jadi wajar jika keuntungan tersebut meruoakan idaman dan menjadi perlombaan dari banyak orang.
Salah satu phrase dalam politik yang mungkin akan diamini oleh banyak politisi adalah "tiada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi'. Politik memang tidak mengenal musuh atau sahabat abadi, semua dapat dengan mudah berpaling sesuai dengan kebutuhan. Â Jika Abraham maslow menjelaskan mengeani hirarki kebutuhan tertinggi adalah aktualisasi diri, dimana hal tersebut merupakan Keinginan seseorang untuk menggunakan semua kemampuan dirinya untuk mencapai apapun yang mereka mau dan bisa dilakukan, maka Patrice Dutil seorang ilmuwan politik asal Toronto metropolitan university, menjelaskan jika kebutuhan tertinggi dari hirarki politik adalah lebih pada urusan psikologis, yaitu rasa aman dan pengakuan, keduanya merupakan motivasi tertinggi dalam politik jadi diakui sebagai pejabat politik merupakan kepuasan bagi mereka.
Nietzsche nambahkannya dengan konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) dimana konsep ini merupakan konsep yang melihat bahwa melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya, yaitu keinginan untuk mendominasi atau menguasai orang lain, diri sendiri, atau lingkungan, Kekuasaan bisa menjadi sangat adiktif, mirip seperti efek ketergantungan dari obat obatan tertentu atau bahkan orgasme dalam perilaku seksual. Professor Sheri Johnson seorang psikologis dari UC Berkeley mengatakan jika orang yang merasa berkuasa biasanya menunjukkan peningkatan mood yang positif, kepercayaan diri yang lebih tinggi, serta mengalami depresi dan kecemasan yang lebih rendah. Beragam rasa inilah yang membuat orang terus menerus menggapai cita-cita untuk bekuasa, hingga pada akhirnya para politisi melakukan banyak cara guna mencapai "kenikmatan" ini, termasuk menjadi oprtunis pada beragam peluang yang muncul.Â
Saya pribadi melihat sikap oportumis politik ini merupakan hal yang bisa saja, bukan merupakan sesuatu yang hina, jika masih dilaksanakan pada level wajar, setiap politisi pasti mencari kesempatan untuk "melangkah" lebih jauh karena sejak semula, tujuan berpolitik sejak semula adalah untuk pencapaian kekuasaan. Sikap Prabowo pada 2019, sikap kader yang semula bersebrangan pada pemilu 2024 yang mungkin kemudian bergabung menjadi poros pemerintah, Â merupakan Langkah yang sangat mungkin terjadi pada politik, karena politisi akan selalu oportunis.
*penulis merupakan seorang dosen dan peneliti komunikasi politik. Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H