Traffic light baru saja berganti menjadi merah. Dua pengamen mendekati antrian kendaraan, menyanyikan lagu yang tidak jelas. Seorang membawa marakas dari tutup botol dan seorang lagi membawa gitar berukuran mini. Aku memperhatikan bukan untuk memberi receh melainkan miris melihat anak usia sekolah ada di jalanan pada hari dan jam sekolah. Namun, ada pemandangan yang tidak asing saat aku melihat mereka. Kubuka kaca helm, kupastikan dugaanku. Pengamen berkulit legam dan berpakaian kusam itu ternyata memang seperti sangkaanku. Mereka adalah anak-anak yang sama yang ada di kelasku kemarin.
***
Waktu itu Jum’at perdana di semester genap. Aku melangkahkan kaki menuju kelas IX yang berada di ujung selasar sebuah madrasah tsanawiyah. Perasaanku tidak semantap biasanya. Aku masih tidak yakin dengan materi yang akan kusampaikan. Suara gaduh yang sudah terdengar sebelum aku tiba di kelas tujuanku membuatku semakin gamang.
Kelas ini tampak begitu luas dengan segelintir anak di dalamnya. Mereka duduk tidak beraturan di bangku yang tidak rapi tatanannya dan dipenuhi dengan tulisan-tulisan tak pantas. Tembok kelas tidak lagi terlihat warna aslinya, juga dipenuhi dengan tulisan-tulisan tak pantas lagi tak jelas. Kertas, plastik, bungkus makanan, pasir, dan puntung rokok bertebaran di mana-mana. Anak-anak di kelas ini saling berbicara dengan suara keras dan kasar. Salam yang kuucapkan ketika masuk kelas mereka jawab sekenanya. Sebelum memperkenalkan diri, kugiring mereka mendekat satu sama lain, kududukkan mereka pada tempat seharusnya, kuletakkan kaki mereka pada posisi sebenarnya.
Beradu desibel dengan anak-anak ini bukan urusan mudah. Urat leherku berkali-kali menegang lebih kuat dari biasanya. Aku kepayahan pada menit-menit awal jam pelajaran. Kuambil kursi. Kutempatkan ditengah-tengah mereka. Aku duduk sambil menyilangkan kaki. Kubuka Negeri 5 Menara-ku. Berlagak membaca, tak kuhiraukan kegaduhan mereka. Justru ketika aku tidak mengeluarkan suara, mereka jadi sibuk mendiamkan satu sama lain. Kupikir taktikku berhasil. Namun, saat aku mulai berbicara lagi, sahutan dan celetukan kembali terdengar. Bahkan, celetukan yang seharusnya tidak keluar dari mulut orang yang makan bangku sekolah, apalagi sekolah dengan label agama. Aku hanya menghela nafas.
Sebelum melakukan interaksi dengan siswa di dalam kelas, aku sudah mendengar tentang polah murid di madrasah tsanawiyah ini. Dalam setiap pertemuan dengan dewan guru, bahasan tentang murid diwarnai dengan berbagai peristiwa yang mencengangkan, seperti siswa putra yang menyobek rok teman siswinya dengan silet, atau sepasang siswa siswi yang tertangkap basah berduaan di kamar mandi, atau siswa yang selama berminggu-minggu pamit berangkat sekolah pada ibunya namun tidak pernah sampai di sekolah. Belum lagi pembahasan bab akademis siswa. Hadir dan bertemu sendiri dengan siswa di dalam kelas dalam suasana KBM hari itu membenarkan semua informasi yang kudengar.
MTs atau madrasah tsanawiyah adalah jenjang pendidikan setara SMP yang bernaung di bawah Kementerian Agama. MTs yang sedang kubicarakan ini adalah satu di antara enam unit pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam milik keluarga suamiku. Dari tahun ke tahun, peminatnya merosot tajam. Puncaknya, tahun ajaran ini hanya mendapatkan 2 orang dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Menjelang dimulainya tahun pelajaran baru kemarin, pengurus yayasan mengadakan pertemuan dengan dewan guru MTs. Pokok bahasannya adalah jumlah peserta didik baru yang tidak seimbang dengan jumlah peserta didik yang diluluskan, siswa lulus 11 orang sedangkan siswa masuk hanya 2 orang. Yayasan mempertanyakan tentang kelangsungan KBM (kegiatan belajar mengajar) di MTs mengingat selisih 9 orang itu berarti anggaran sekolah yang bersumber dari dana BOS akan berkurang sekitar 7 juta setahun. Sedangkan selama ini sekolah tidak memiliki sumber dana selain Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah yang besarnya berkisar 800.000 persiswa pertahun. Dengan pemasukan sedemikian saja, dewan guru MTs hanya menerima honorarium dengan nominal minim dan tidak tepat waktu bahkan pernah tertunda sampai empat bulan gaji. Pengurus yayasan meminta dewan guru MTs mempertimbangkan untuk menutup sekolah. Pertemuan itu berakhir dengan mundurnya beberapa orang guru, termasuk kepala sekolah, dan kebulatan tekad guru yang tersisa untuk terus melanjutkan KBM di MTs walaupun dengan sumber daya seadanya.
Sebagai perwakilan yayasan, dalam setiap rapat koordinasi bulanan aku selalu mengingatkan dewan guru MTs bahwa sekolah ini tetap berlangsung karena mereka bersikeras bertahan. Hal itu kujadikan senjata untuk menagih kinerja mereka yang kuukur lewat ketidakhadiran dan kenakalan siswanya. Upaya yang mereka laporkan tampak luar biasa saat disampaikan di rapat, namun tak pernah sesuai dengan kenyataannya. Aku sering mempertanyakan kinerja guru dengan nada sinis dan skeptis: apa saja kerja guru di madrasah ini, menangani 25 orang siswa saja sudah kewalahan! Bukankah dengan jumlah guru lebih dari 10 orang berarti 1 orang guru paling banyak hanya menangani 3 siswa? Mereka tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan aku.
Dua puluh lima orang siswa MTs terbagi menjadi tiga rombongan belajar. Kelas IX memiliki jumlah siswa terbanyak, yaitu 17 orang. Kelas inilah yang terkenal paling sering berulah. Kelas VIII terdiri dari 6 orang siswa. Tadinya di awal masuk berjumlah 8 orang. Sedangkan kelas VII, sudah disebutkan tadi, hanya diisi oleh 2 orang siswa.
Tentang kenakalan siswanya yang tersohor di seluruh yayasan, para guru menggunakan dalih input siswa yang mereka terima. Katanya, “siswa-siswa kita memang terbatas sekali kemampuannya, Bu, dan yang masuk sini biasanya yang nakal-nakal”. Pembelaan seperti itu tidak pernah kubiarkan. Aku akan langsung menggempur mereka dengan sederet kalimat yang memanaskan kuping yang intinya “tidak boleh kalah sama input”. Bahkan, biasanya aku melanjutkan dengan ancaman, “kalau tidak bisa mengatasi murid yang jumlahnya hanya sedikit, buat apa sekolah ini diteruskan? Ujung-ujungnya hanya memperburuk citra yayasan!”
Pada dasarnya, pengurus yayasan berkeinginan untuk menutup unit pendidikan ini. Pertimbangannya, di yayasan sudah ada unit pendidikan dengan jenjang yang sama, yaitu SMP. Selain itu, dengan jumlah murid sedikit maka konsekuensi pemasukan sedikit juga tidak bisa dihindari. Mereka sangsi para guru akan memberikan pelayanan pendidikan yang layak apabila kebutuhan dasar mereka tidak dipenuhi melalui honorarium yang pantas. Tentang kenakalan muridnya, anak-anak MTs dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas rusaknya fasilitas sekolah, dari bangku hingga lampu. Rupanya, sedikit banyak aku mengambil sikap sebagaimana harapan yayasan, mendorong MTs untuk diterminasi sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk memberikan sebagian hatiku untuk mereka.
Dalam rapat terakhir di semester ganjil, aku meminta diberi waktu untuk masuk dalam kelas. Dewan guru menyambut gembira. Mungkin mereka berharap aku berhenti mengeluarkan kritikan pedas kalau sudah bertemu sendiri dengan murid-murid MTs, terutama kelas IX. Maka, pada Jum’at perdana di semester genap itu aku resmi menjadi pengajar Seni Budaya dan Ketrampilan kelas IX.
***
Hari itu kali ketiga aku masuk ke kelas IX. Belum pernah sekali pun kelas itu dihadiri semua siswanya. Hampir tiap minggu selalu ada wajah baru walaupun murid yang pernah menghadiri kelasku tidak menghilang pada minggu berikutnya (aku bersyukur sekali tentang itu). Jum’at ini acaraku adalah mengajak mereka membaca Negeri 5 Menara. Seperti biasa, beberapa hari menjelang jadwal mengajarku tiba, aku sudah memutar otak mencari cara supaya murid-muridku bisa menangkap pengetahuan yang kutransfer pada mereka. Negeri 5 Menara adalah salah satu hasil putaran otakku. Saat mengetahui panduan pokok bahasan SBK yang tercantum dalam LKS, aku langsung tahu bahwa mata pelajaran ini akan membantaiku di depan muridku. Sama sekali bukan jenis bahasan yang menyenangkan. Maka dari itu, setelah berdiskusi dengan kepala sekolah, aku mencanangkan pelajaran SBK semester ini akan kuiisi dengan seni berbicara dan mendengar. Negeri 5 Menara-lah saranaku untuk mengajarkan mereka berbicara dan mendengar.
Aku memutuskan untuk berhenti melawan tingkah polah murid kelas IX. Aku berusaha menjadi bagian dari mereka. Murid-muridku suka sekali makan di dalam kelas. Mereka juga sangat gemar duduk semaunya, baik lokasinya maupun pose-nya. Pose favorit mereka adalah methangkring, menaikkan kaki ke atas bangku atau meja, sedangkan lokasi kesukaan mereka adalah di pojok belakang kelas. Maka, jadilah hari itu aku masuk kelas sambil membawa makanan dan mengambil tempat di meja hampir belakang. Ya, di meja.
Hari itu aku memilih untuk pethangkringan bersama mereka. Di luar dugaan, strategiku hari itu menjadi metode yang efektif. Anak-anak mendekat tanpa paksaan. Mereka tenang tanpa kuminta. Yang paling menyenangkan, mereka berpartisipasi dalam pembelajaran tanpa kuduga. Dengan caranya, mereka antusias pada Negeri 5 Menara.
Pesan-pesan yang diselipkan Ahmad Fuadi bisa ditangkap dengan baik oleh anak-anak yang biasanya clometan dan cekakakan di dalam kelas. Mereka penasaran dengan kata-kata sulit yang didengarnya dari cerita yang kubacakan. Sepertinya mereka menyukai saat-saat tidak gagal paham dalam pembelajaran.
Walaupun semua itu mereka tempuh dengan cara mereka, bersandar di tembok dengan menaikkan kaki di bangku atau satu tangan memeluk kaki dan tangan lain menyuapkan makanan ke mulutnya atau berhimpit-himpitan tiga orang dalam satu bangku atau duduk sejajar denganku di atas meja lainnya, namun mereka menempuhnya dengan wajah yang berbeda. Bukan wajah nakal, aku mengartikan wajah itu sebagai merindu. Mungkin mereka memang merindu dipandang sebagai pelajar dan bukannya sebagai anak nakal. Hari itu tanpa bisa kutolak, cinta bersemi di hatiku.
Di ruang guru, aku menyampaikan harapan pengurus yayasan supaya sekali lagi mereka mempertimbangkan sekolah itu ditutup.
“Pak, Bu.. kami tidak tega melihat panjenengan. Kalau tahun ajaran depan total murid kita cuma di kisaran 10, bagaimana nasib panjenengan? Apa tidak sebaiknya panjenengan mulai mencari sekolah induk lain?”
“Bu, kami ini tidak perlu dikasihani. Tolong kami didukung saja.”
“Yayasan kita juga dalam keadaan terbatas, jadi tidak mungkin kami bisa memberikan sokongan dana.”
“Tidak perlu, Bu. Kami ikhlas, kok. Pasti Allah akan melewatkan rejeki kami dari jalan lain. Yang penting sekolah agama ini tidak sampai mati. Lagi pula, siapa yang mau menampung anak-anak ini, Bu?”
Aku berkaca-kaca. Aku semakin terpesona.
Anak-anak kami di MTs ini memang khusus. Mereka adalah anak-anak yang tidak lolos masuk sekolah negeri karena nilainya. Mereka juga tidak bisa masuk sekolah swasta berkualitaskarena uangnya. Bahkan mereka adalah anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah lain karena kenakalannya atau kebodohannya.
Rupanya, guru-guru MTs di yayasan ini paham betul, kalau anak-anak ini tidak ada yang mau menampung maka sangat mungkin mereka menjadi sampah masyarakat. Na’udzubillahi min dzalik! Aku pun tidak ingin anak-anak yang telah memikat hatiku itu menjadi pembantu rumah tangga, menjadi tukang yang skilless, menjadi TKW yang sengsara di negeri orang, atau bahkan menjadi begal atau pengemis yang hina dina karena tidak mempunyai softsklill dan hardskill karena tidak sekolah. Benarkah yang kulakukan dengan berdiri di pihak yayasan yang menginginkan sekolah ini ditutup?
***
Sekolah semacam ini mungkin juga ada di sekitar kita. Bahkan mungkin kita termasuk orang-orang yang merasa gerah dengan adanya sekolah semacam ini: sekolah anak nakal, sekolah berandalan, sekolah kampungan, sekolah kumuh, sekolah tidak layak buka.
Mungkin kalau tahu caranya, kita sudah mendatangi pihak yang berwenang untuk mengusulkan supaya sekolah semacam ini ditutup saja karena murid-muridnya meresahkan masyarakat karena kerjaannya tawuran, corat coret tembok, dan merusak fasilitas jalan.
Pernahkah kita terpikir bahwa anak-anak ini tidak memiliki keberuntungan lain untuk ‘memaksa’ orang lain mengajari mereka? Anak-anak ini lain dengan anak-anak orang kaya yang meskipun orang tuanya sibuk tapi mempunyai uang untuk ‘menyuruh’ guru mengajari anaknya. Kalau sekolah macam ini ditutup, kemana anak-anak ‘buangan’ ini mencari pendidikannya?
Jika anak-anak ini dikembalikan pada orang tuanya, lupakah kita bahwa orang tua anak-anak ini adalah pembantu kita, babysitter kita, sopir kita, kuli bangunan yang sedang mengerjakan rumah kita, yang kalau absen seminggu saja membuat kita kelabakan. Tidak ada yang menyetrika baju kita, tidak ada yang menyuapi anak kita, dan mobil atau motor kita menjadi kusam karena seminggu tidak dicuci.
Kita jadi harus mengeluarkan uang ekstra untuk memasukkan mobil ke carwash dan me-laundry baju-baju kita sehingga rapi tanpa capek cuci setrika sendiri. Kita juga harus mencari babysitter infalan supaya tidak dimarahi atasan karena terlalu sering cuti dengan alasan pembantu pulang. Dan untuk orang tua mereka yang hanya kita beri jatah libur 7 hari, maksimal dua kali dalam setahun, sudahkah kita titipkan pendidikan yang layak untuk anak-anak mereka?
Berapa gaji yang kita berikan untuk orang tua anak-anak ini? Apakah gaji mereka memungkinkan anak-anak ini dititipkan di sekolah yang layak? Jika kita berpikir masih ada kerabatnya di kampung yang bisa dilimpahi tanggung jawab pendidikan anak-anak ini, tidakkah terlintas bahwa mungkin saja anak-anak ini harus bekerja untuk bisa makan dan hidup bersama mbah-nya yang sudah renta tapi tidak boleh pensiun dari hidup yang serba sempit?
***
Masih di ruang guru. Aku terdiam. Masihkah aku hendak menutup sekolah ini?
Jombang, Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H