Megengan merupakan tradisi yang di lakukan khusunya di pulau Jawa menjelang bulan Ramadhan. Kata megengan ini diartikan menahan, maksudnya adalah di bulan ramadhan yang akan datang ini kita di haruskan untuk menahan diri dari segala hawa nafsu dari makan dan minum, tidak berkata kasar, senantiasa sabar. Megengan ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu bahkan sebelum masuknya agama Islam. Jadi bisa dikatakan bahwa tradisi megengan ini merupakan akulturasi antara budaya lokal dengan budaya Islam. Tradisi Megengan ini biasanya dilakukan pada akhir bulan syaban ( ruwah ).Â
Megengan ini sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit yang di kenal dengan nama Ruwahan. Ruwah adalah nama bulan syaban. Ruwah berasal dari kata ruh atau yang berarti arwah. Mengapa diberi nama ini karena setelah tradisi megengan ini akan dilanjutkan dengan ziarah kubur ke makam keluarga atau kerabat.Â
Tradisi Megengan ini banyak terjadi perubahan dan perkembangan seiring dengan berkembangnya zaman. Penggantian nama ruwahan yang digunakan pada zaman dahulu menjadi Megengan yang dapat diartikan sebagai menahan. Penggantian nama ini juga terjadi karena adanya akulturasi budaya antara budaya setempat dengan budaya agama Islam yang masuk.Â
Tradisi ini masuk ke dalam agama Islam atau mulai terjadi akulturasi antar kedua budaya ini pada masa Walisongo yaitu di bawakan atau di kenalkan kepada masyarakat oleh sunan Kalijaga. Tradisi ini masih belum diketahui mengawali hal ini dalam Islam. Prof Dr Nur Syam yang merupakan guru besar IAIN sunan Ampel Surabaya menyampaikan bahwa megengan ini dapat di katakan dibawa oleh Walisongo khusunya sunan Kalijaga karena mengingat banyaknya tradisi dan kreasi tradisi kreatif yang muncul dari pemikiran sunan Kalijaga. Maka perkiraan dugaan ini bisa dipertanggungjawabkan.
Tradisi ini biasa di sebut juga dengan selametan megengan. Selametan disini berarti ungkapan rasa syukur. Megengan ini biasa dilakukan dengan cara membagikan nasi beserta lauk, kue apem, dan lain lain. Kue apem disini bermakna sebagai simbol kebersamaan dan kesederhanaan. Disebut sebagai simbol kesederhanaan karena dalam proses pembuatannya menggunakan bahan bahan yang sederhana. Setelah membagikan nasi ke tetangga dan kerabat lalu di lanjutkan dengan tradisi nyekar atau biasa di sebut dengan ziarah kubur. Ungkapan rasa syukur ini tidak hanya diberikan kepada orang yang masih hidup tetapi juga kepada orang yang sudah tiada. Biasanya juga warga desa bersama sama melakukan bersih bersih makam pada Minggu terakhir di bulan syaban.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H