Perpanjangan izin operasi  bagi ormas Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Habib Rizieq Syihab menjadi persoalan yang dilematis bagi Kemendagri. Ada banyak dimensi yang mesti dan patut di pertimbangkan Kemendagri dalam menentukan sikapnya, apapun nanti sikap yang di ambil. Di tinjau dari dimensi hukum setiap orang atau kelompok di berikan kebebasan untuk berkumpul dan berserikat oleh negara.
Tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 3. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat". Secara konstitusional kemendagri berkewajiban memberikan perpanjangan izin bagi setiap kelompok orang untuk membentuk organisasi tidak terkecuali FPI.
Namun disisi lain ada suara-suara yang menginginkan salah satu ormas yang menggunakan panji-panji dan simbol-simbol Islam ini berpendapat bahwa FPI lebih baik dibubarkan. Bagi para pendukung dan partisipan FPI tentunya akan berusaha agar ormas kebanggaannya tetap dapat berdiri dan beroperasi seperti biasanya.
Situasi ini sangat memungkinkan sengaja diseret  ke dalam ranah politik dimana era saat ini sedang berhembus kencang politik identitas. Karena FPI menggunakan identitas keislaman dalam organisasinya maka secara psikologis umat islam akan merasa FPI adalah bagian dari "Keluarga Besar" umat Islam.
Apakah umat islam seluruh negeri akan ikut mati-matian membela eksistensi FPI di Indonesia?. Mungkin saja, jika dirasa FPI tidak mendapat keadilan dari pemerintah. Atau mungkin sebaliknya bisa bernasib seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ketika di bubarkan rakyat terkesan acuh tak acuh.
Meskipun bangsa Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, pembubaran tersebut reda begitu saja, seperti air sungai bengawan solo yang akhirnya ke laut. Padahal HTI merupakan organisasi masyarakat yang juga menggunakan simbol-simbol Islam.Â
Berhubung masih ada waktu dua bulan masa berlaku izin operasi FPI, seyogyanya Kemendagri tidak terpancing dan terbawa arus untuk menetapkan keputusan ataupun memberikan pernyataan secara tergesa-gesa. Isu perpanjangan izin FPI yang memang hampir habis masa berlakunya seakan dihembuskan pihak tertentu, karena isu ini terasa memiliki nuansa politis yang sangat kuat berkaitan erat dengan pernyataan pimpinan FPI habib Riziq Syihab yang membuat pernyataan di berbagai media menghimbau pemerintah  untuk menghentikan perhitungan real count yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ada kesan tarik menarik kekuatan antara pemerintah dan kubu dari Habib Riziq Syihab yang mendukung salah satu paslon di pilpres 2019. Sebagai warga negara Habib Rizieq Syihab berhak mengeluarkan pendapat pribadinya meski mengatas-namakan apapun. Tinggal respon pemerintah yang diharapkan bijaksana menyikapi pernyataan setiap warga negaranya apalagi seorang tokoh masyarakat yang juga memiliki pengikut yang cukup besar di Indonesia.
Pernyataan Habib Rizieq adalah buntut dari adanya anggapan pemilu 2019 dimana terdapat kecurangan - kecurangan yang sengaja dilakukan KPU yang digerakkan oleh kubu paslon dari petahana. Selama pemerintah terutama KPU dapat membuktikan kinerjanya secara transparan kepada masyarakat bahwa semua perhitungan KPU dilakukan dengan teliti dan jujur serta adil maka isu kecurangan akan surut dengan sendirinya.
Saya rasa rakyat Indonesia sudah cukup cerdas untuk dapat menilai, apakah suatu keputusan yang di ambil pemerintah atau pun pernyataan para tokoh elit itu memiliki kebenaran bersama, ataukah kebenarannya sendiri-sendiri, dan apakah memiliki tujuan untuk kemaslahatan ataukah hanya untuk syahwat kekuasaan semata. Hukum hanyalah alat dan sarana untuk memuaskan rasa keadilan bagi rakyat. Maka supremasi keadilanlah yang mesti dijunjung. Kita tunggu saja keputusan Kemendagri, diperpanjang atau tidak?!