Mohon tunggu...
Sosbud Artikel Utama

Tipe-Tipe Rakyat Kecil

13 April 2015   07:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah 70 tahun Indonesia merdeka. Terhitung sejak dikumandangkan Proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Jika kita putar kembali detik-detik Proklamasi terdengar sangat sakral memang. Bulu kuduk sampai berdiri merasakan atmosfer kemerdekaan setelah berabad-abad dijajah. Mengingat perjuangan rakyat yang tidak hanya meneteskan, tapi menumpahkan darah dan keringat mereka, demi satu kata yaitu KEMERDEKAAN.

Pasca kemerdekaan Indonesia mengalami pasang surut. Tidak konsistennya system pemerintahan, presidensiil atau parlementer. Bahkan Negara yang berbentuk kesatuan harus terpecah belah menjadi negara federal berkat ratifikasi KMB dan menjadi negara RIS tahun 1949. Tetapi karena nasionalisme dan persatuan, Indonesia kembali menyatu dan menjadi negara kesatuan dan keluar Dekrit Presiden 1950. Setelah melewati masa ini, Indonesia berharap ,menuju hidup yang lebih baik. Namun dibawa oleh Presiden Seokarno, Indonesia mulai mengalami pergolakan karena rezim otoriter dengan dalih Demokrasi Terpimpin-nya Pak Karno. Hingga akhirnya terjadi tragedi G 30/S PKI. Soerkarno lengser dan digantikan oleh Soeharto. 10 tahun pertama kepempimpinan Pak Harto, Indonesia memang mengalami perkembangan. Rakyat hidup sejahtera. 10 tahun kedua Indonesia mulai gonjang-ganjing. Hingga puncaknya pada tahun ke 30 Pak Harto memimpin Indonesia. Merajalelanya KKN dan krisis multi dimensi membawa keadaan Indonesia benar-benar dalam keterpurukan. Aliansi rakyat-mahasiswa akhirnya turun ke jalan dan berhasil menyeret Pak Harto turun dari singgasananya. Tibalah masa reformasi.

Terlepas dari sejarah, bagaimanakah kondisi Indonesia saat ini? Setelah 4 kali terlaksana amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan di Indonesia terus mengalami perbaikan. Tetapi bagaimana dengan pengimplementasiannya? Memasuki era-nya Jokowi, Indonesia benar-benar mengalami masa pubertas kembali karena kebijakan yang sangat labil. Hari ini harga BBM naik, besoknya turun. Besok harga BBM naik lagi lusa turun. Sekarang naik lagi. Sayangnya, kenaikan harga BBM sudah pasti menaikkan harga-harga yang lain juga, terutama hargakebutuhan pokok. Naasnya, setelah harga BBM diturunkan harga-harga yang lain konsisten, tidak mau turun.

Ada hal menarik ketika saya melakukan bakti sosial di sebuah desa yang terletak di Klaten, Jawa Tengah. Kami juga mewawancarai meminta pendapat mereka tentang kebijakan-kebijakan dari pemerintah saat ini, khusunya terkait kenaikan harga-harga. Hasil survey sederhana kamiterdpat dua pendapat yang saling bertolak belakang sehingga saya menyimpulkan bahwa ada dua tipe rakyat kecil di Indonesia. Yaitu tipe rakyat kecil yang kritis, tetapi hanya mampu mengkritisi, dan tipe rakyak kecil yang acuh tak acuh.

Tipe yang pertama yaitu tipe rakyat kecil yang kritis tetapi hanya bisa mengkritisi. Saat kami bertanya, bagaimana pendapat Anda tentang harga-harga yang semakin tinggi? Mereka menjawab. “Ya seperti inilah. Harga yang terus naik jelas membebani rakyat kecil. Kebijakannya gak jelas. Pemerintah harusnya lebih peduli kepada rakyat kecil. Karena harga naik, kita jadi kesusahan sementara pendapatannya tetap. Uang untuk jajan anak juga bertambah. Pembagian bantuan seperti BLT juga harusnya jangan salah sasaran. Orang yang punya sawah dikasih, malah orang yang tidak punya sawah gak dikasih.” Kurang lebih seperti itulah tanggapan keluarga itu terkait kebijakan pemerintah. Sederhana memang bentuk kritis mereka terhadap pemerintah, tetapi seharusnya sudah cukup menjadi koreksi bagi pemerintah.

Tipe yang kedua yaitu tipe rakyat kecil yang acuh tak acuh. Saat kami menanyakan hal yang sama, mereka justru menjawab, “saya tidak tahu apa-apa soal pemerintah. Kalau harga-harga naik, saya ngikut pak RT aja.” Jawaban itu memang membuat saya sedikit terkejut. Ada dua kemungkinan yang saya simpulkan. Pertama, keluarga ini memang tidak terpengaruh oleh kenaikan harga-harga. Kedua, keluarga ini terlalu kolot untuk memikirkan soal pemerintahan. Kritis ataupun acuh, memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh rakyat kecil. Aspirasi mereka seolah menjadi gas buangan dari knalpot yang mengepul sebentar, setelah bebarapa saat menghilang, menyebar atau tercampur dengan udara. Jeritan rakyat kecil memang sesaat terdengar, tetapi dengan “dot”, seperti BLT dan beras bersubsidi, teriakan itupun menghilang. Hinga akhirnya pejabat negara merasa bebas sesuka hati menaik turunkan harga, menggonta-ganti kebijakan tanpa partisipasi dari rakyat. Padahal negara ini adalah negara demokrasi dimana kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, seharusnya.

Akan tetapi ingatlah bahwa gas-gas kendaraan yang tercampur udara itu lama kelamaan juga akan terakumulasi dan akhirnya mencemari udara. Tragedi 1998 adalah akumulasi dari kemarahan rakyat terhadap pemerintah akibat krisis moneter yang melanda Indonesia kala itu. Bukan tidak mungkin kejadian itu akan terulang jika keadaan Indonesia terus mengalami kemunduran. Seharunya ini yang menjadi pertimbangan Presiden Jokowi agar berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun