Mohon tunggu...
Catatan Artikel Utama

Pejabat Butuh Tunjangan, Rakyat Lebih Butuh

13 April 2015   07:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, Indonesia mengalami guncangan lagi setelah gagal diberlakukannya Peraturan Presiden keluaran terbaru, Perpres Nomor 39 tahun 2015 tentang tunjangan uang muka mobil bagi pejabat yang sedianya dinaikkan dari Rp 116,65 juta menjadi lebih dari Rp 210,89 juta. Terlepas dari kelalaian Presiden Jokowi yang mengaku menandatangani Perpres tersebut tanpa membaca isinya terlebih dahulu, saya lebih tertarik dengan sikap egois dari para pejabat yang tega berencana untuk menaikkan uang tunjangan. Dipandang dari segi moral, perilaku pejabat ini tidaklah patut dilakukan. Entah lupa atau memang tidak peduli, mereka tidak memikirkan nasib rakyat Indonesia dimana masih banyak yang kelaparan dan menjadi gelandangan. Pejabat justru menari-nari diatas penderitaan rakyat. Bagaimana mungkin mereka tega menaikkan uang tunjangan untuk membeli mobil, sementara masih banyak rakyat yang membutuhkan bantuan dari pemerintah. Prinsipnya, penuhi dulu kewajiban, baru menuntut hak!

Kita juga tidak bisa melupakan bahwa pejabat memang memiliki kekuasaan diatas rakyatnya. Hal inilah yang memungkinkan bagi mereka untuk mengambil keuntungan dari otoritas dan wewenang yang dimilikinya. Lagi-lagi politik yang bermain disini. Orang yang lemah perpolitikannya yang akan tertindas. Sayangnya, rakyat masih lemah dalam hal politik. Kebanyakan dari rakyat Indonesia sudah dibebankan dengan kehidupan yang keras, sehingga tidak memiliki waktu untuk ikut memikirkan urusan negara apalagi permasalahan negara yang semakin kompleks.

Lucunya, tunjangan itu diajukan untuk menambah uang muka pembelian mobil pejabat, dengan alasan harga mobil yang semakin tinggi. Padahal sampai saat ini Indonesia juga masih kesulitan untuk mengatasi masalah kemacetan terutama di Jakarta. Waktu dan pikiran mereka seharusnya digunakan untuk mencari solusi bagi permasalahan di negara ini, bukan justru menambah masalah baru.

Dari segi hukum, sudah jelas dalam UUD 1945 pasal 34 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Saya pikir bukan pemerintah tidak mau atau melupakan sama sekali pasal ini. Hanya saja karena jumlah fakir miskin dan anak-anak terlantar yang sangat banyak di Indonesia tidak memberikan ruang yang banyak bagi pemerintah untuk berbuat sesuatu, terkait dengan pemeliharaan. Kalau beban Negara sudah demikian berat, seharusnya para pejabat juga jangan menambah beban lagi dimana pada akhirnya rakyat yang harus menanggungnya. Padahal dalam Pancasila sendiri dikatakan bahwa keadilan social adalah bagi sleuruh rakyat Indonesia. Melihat keadaan sekarang, tampaknya Indonesia mengalami masa pergolakan kembali seperti jaman Orde Lama, dimana konstitusi diselewengkan. Cita-cita Orde Baru untuk melaksanakan konstitusi secara murni dan konsekuen ternyata belum dapat dilaksanakan sampai sekarang, bahakan setelah memasuki babak baru, masa Reformasi.

Rakyat sudah cukup dikecewakan dengan berbagai kebijakan yang secara tidak langsung memiskinkan rakyat, seperti kenaikan harga BBM yang berimbas pada kenaikan harga-harga lain, dan perpanjangan kontrak Freeport yang jelas-jelas merugikan negara. Karena kebijakan pemerintah itu, lagi-lagi rakyat yang harus menanggung akibatnya. Tidak cukup memikul beban Negara, rakyat juga harus memikul beban para pejabat. Ini yang selalu saya tanyakan, mengapa. bukankah pejabat itu ada untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan mensejahterakan rakyat? Sampailah saya pada sebuah kesimpulan bahwa akar permasalahannya yaitu karena rendahnya nilai religius dan moralitas dari para pejabat itu sendiri. Mereka kufur dan tidak merasa cukup dengan apa yang telah didapatkan. Dengan gaji yang didapat dengan menjadi pejabat, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk hidup sejahtera. Tapi karena keserakahan, mereka terus berjuang untuk mendapatkan lebih, bahkan ketika negara dalam keadaan darurat sekalipun. Dalam keadaan Indonesia yang belum merdeka dari kemiskinan, pejabat seharusnya bisa menahan diri dan menggunakan hati nuraninya untuk melihat sendiri ke bawah, dimana masih banyak rakyat yang belum tersentuh oleh kehidupan yang layak.

Yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukanlah orang-orang yang memiliki intelektualitas (IQ) tinggi, tetapi tidak peka. Atau orang yang mengemyam pendidikan tinggi sehingga memiliki banyak gelar tetapi tidak memiliki hati nurani. Rakyat butuh orang-orang yang memiliki tingkat sosio-psiko-spiritual (ESQ) yang tinggi, berkarakter, dan amanah. Yaitu mereka yang memiliki jiwa Pancasila (religius, humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan). Pejabat haruslah bisa menyelesaikan masalah-masalah kewarganeraan dan membantu rakyat dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Bukan justru menambah penderitaan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun