“Ignorantia legis excusat neminem”, ketidaktahuan akan undang-undang bukan alasan bagi pemaaf. Artinya, semua orang dianggap tahu akan adanya aturan hukum , terutama yang dituangkan dalam undang-undang. Hampir semua sisi kehidupan rakyat Indonesi sudah diatur oleh undang-undang yang dibuat sedemikian rupa oleh para pejabat yang memiliki kewenangan untuk menyusunnya. Contohnya yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang peraturan lalu lintas.
Kritik terhadap asas semua orang dianggap tahu akan adanya Undang-undang yaitu asas ini tidak memiliki toleransi. Padahal, tidak semua orang mengetahui aturan-aturan hukum yang baru ataupun yang sudah ada sejak dulu. Seperti Burgerlijke Wetboek (KUH Perdata), Wetboek van Koophandel (KUH Dagang), Wetboek van Straafrecht (KUHP) yang sudah berlaku sejak masa penjajahan Kolonial Belanda. Biasanya, masyarakat baru mengetahui akan adanya aturan atau undang-undang saat mereka sudah melanggarnya. Karena itulah muncul pemikiran bahwa hukum dibuat untuk dilanggar. Hal ini juga terkait dengan pembuatan undang-undang yang selalu terlambat. Artinya sesudah ada kejadian atau peristiwa, baru dibuat undang-undang yang mengaturnya.
Namun, tidak selamanya bahwa ketidaktahuan publik akan hukum ini menjadi faktor utama maraknya kasus hukum atau tindak kriminal di Indonesia.Buktinya, masih banyak para koruptor yang leluasa beraksi di Indonesia yang notabene adalah kaum intelektual. Tindakan-tindakan melanggar hukum juga dipicu oleh rendahnya moralitas pada diri pribadi masyarakat. Misalnya, dari perspektif aliran filsafat moral yaitu hedonisme. Demi memperoleh kenikmatan (uang), seseorang rela melakukan tindakan kriminalitas seperti mencuri, dan merampok. Kasus yang terjadi pada kalangan muda lama ini yaitu “pembegalan”. Sebagian besar alasan pelaku melakukan tindakan tak terpuji itu adalah demi memperoleh uang yang akan digunakan untuk bersenang-senang dan foya-foya. Hal ini tentu sudah mengarah pada perilaku hedonis.
Tidak hanya kasus-kasus yang kerugiannya mencakup Negara, tapi juga muncul kasus-kasus ringan yang sebenarmya tidak merugikan khalayak bahkan terkesan kontroversial. Kasus Nenek Asyani misalnya. Nenek tua renta tersebut dituduh mencuri kayu milik perhutani. Belum lagi kasus pencurian sandal di masjid yang sempat mencuat ke media, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga. Kasus ini sebenarnya ringan dan masih bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat, tetapi di proses secara serius dan akhirnya dijatuhi hukumuan. Sementara kasus yang berat dan merugikan banyak pihak kurang mendapat respons dari para penegak hukum kita. Misalnya saja korupsi yang sudah jelas memiskinkan rakyat, tetapi belum ada tindakan tegas dari pemerintah yang mampu memberikan efek jera, sehingga mata rantai korupsi di Indonesia sampai saat ini tidak dapat diputus.
Mestinya, penegakan hukum di Indonesia harus berlandaskan pada Pancasila dan moral bangsa, serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Namun disaat rakyat didorong-dorong untuk mematuhi aturan dan taat hukum, pemerintah sendiri tidak tegas dalam penegakannya, sehingga muncul paradigma bahwa “hukum tumpul ke atas tetapi runcing ke bawah” atau hukum bagaikan dua mata pisau. Satu sisi begitu tajam, tetapi di sisi lain tumpul. Artinya, hukum terkesan hanya diperuntukkan bagi kaum bawah atau rakyat kecil. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa kasus korupsi di Indonesia tidak surut, karena penegakan hukum kepada tikus Negara tersebut belum tajam dan belum mampu memberikan efek jera. Buktinya, saat gencar kasus Gayus Tambunan sebagai tokoh pembuka koruptor, ia masih bisa pergi ke berlibur bahkan ke luar negeri bersama dengan status tersangka yang melekat pada dirinya. Atau pada kasus Labora Sitorus yang hampir sama dengan nenek Asyani karena mencuri kayu dan merugikan Negara. Si nenek langsung dihukum berupa 5 tahun penjara, tetapi Sitorus sebagai pemiliki rekening gendut yang sempat lari dari lapas justru mendapatkan surat bebas. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi rakyat Indonesia untuk memperoleh keadilan, khususnya bagi rakyat kecil atau kaum marjinal sementara para penegak hukum justru mencederai penegakan hukum di Indonesia.
Padahal secara teoritis, komponen hukum mencakup tiga subsatnsi atau isi, yaitu keadilan (fairness), kemanfaatan (utility), dan kepastian (certainty). Namun dalam prakteknya, keadilan sendiri sudah tidak terpenuhi. Tentu sulit untuk mencapai kemanfaatan apalagi kepastian. Karena itu muncul suatu pernyataan bahwa “keadilan tidak ada di dunia ini, keadilan hanya milik Tuhan”. Sekiranya pernyataan ini akan “benar” jika kita menafsirkan situasi penegakan hukum di Indonesia saat ini.
Selain keadilan, hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam penegakan hukum adalah moralitas. Tidak adanya moralitas dalam hukum maka akan berakhir pada kehancuran dan kesewenang-wenangan. Pada akhirnya, konsep memanusiakan manusia tidak akan pernah tercapai. Apalagi saat ini muncul berbagai hak asasi manusia yang melindungi berbagai hak-hak dasar sebagai warga Negara. Hal ini pula uang memicu terjadinya penyeewengan-penyelewengan hukum seperi mafia hukum di peradilan, peradilan yang bersifat diskriminatif, bahkan terjadi rekayasa proses peradilan. Karena itu, muncul paradigma-pradigma yang menambah sederetan slogan-slogan buruk tentang penegakan hukum bahwa “Hukum Indonesia dapat diperjual belikan”. Siapa yang punya uang, dialah yang menang. Pasalnya, banyak penegak hukum yang menjadikan profesinya sebagai sumber mata pencaharian belaka, bukan sebagai suatu tindakan moral yang berangkat dari hati nurani untuk menegakan hukum yang seadil-adilnya.
Disaat Indonesia dalam kondisi darurat akan penegakan hukum yang semakin menyimpang, mengapa sampai saat ini masih banyak rakyat yang bungkam? Ada dua kemungkinan. Pertama, Indonesia adalah orang awam dalam bidang hukum yang tidak tahu dan tidak mau tahu soal hukum, kecuali jika hukum menjeratnya. Kedua, moralitas rakyat yang tidak lebih tinggi dari penegak hukum yang mencederai hukumnya sendiri. Seharusnya, saat para penegak hukum menyimpang, maka rakyatlah yang menjadi kontrol social dengan memberikan pengawasan dan bersikap kritis terhadap kondisi hukum Indonesia saat ini. Jika kita merasa kecewa, kesal dan marah atas kasus Nenek Minah dan Nenek Asyani maka harus ada suatu pengorbanan yang kita berikan, bisa dengan turun ke jalan atau membuat tulisan opini sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah. Sementara solusi jangka panjang, mulai dari sekarang kita harus mempersiapkan kader-kader atau para generasi penerus yang nantinya akan menjadi pengganti para petinggi-petinggi yang saat ini bertengger di atas kekuasaan mereka. Yaitu para generasi yang memiliki integritas tinggi, berkompeten, jujur, dan amanah, bertanggung jawab, serta mampu memberikan perubahan kearah Indonesia yang lebih baik, dari segi hukum, politik, maupun moral. Mungkin orang lain, tapi bisa jadi para pengganti itu adalah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H