Dewasa ini, kasus penyimpangan laporan keuangan dan suap menyuap marak diperbincangkan. KPK sebagai lembaga independen semakin gencar melancarkan serangan dan melumpuhkan sepak terjang para koruptor di Indonesia.
Sementara kasus penyimpangan keuangan yang banyak terungkap adalah dana yang berasal dari pemerintah dan atau dana yang melibatkan para politikus. Seperti penyimpangan dana BOS di Makassar, dana APBD di Sulawesi Selatan, dana desa, dana hibah, hingga dana Sumberwaras yang sempat menyeret nama tokoh pemerintah. Sedangkan perusahaan, unit usaha, atau lembaga keuangan yang berada diluar lingkup institusi pemerintah, masyarakat harus mandiri dan pro aktif jika ingin tahu akuntabilitas dan transparansi keuangannya.
Seperti pada lembaga keuangan Islam, masyarakat seolah “dipaksa” untuk percaya begitu saja dengan keberadaan DPS. Masyarakat menganggap bahwa adanya DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) merupakan jaminan bahwa tidak akan ada penyimpangan baik dalam sisi prinsip syari’at maupun akuntabilitas keuangan. Apalagi didukung dengan opini DPS terkait kepatuhan syari’ah, yang hingga saat ini belum pernah ditemui opini tidak sesuai dengan prinsip syari’ah.
Dewan Pengawas Syari’ah memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara lain memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional lembaga keuangan syari’ah terhadap fatwa DSN, menilai aspek syari’ah terhadap pedoman operasional dan produk keuangan, memberikan opini aspek syari’ah terhadap pelaksanaan operasional lembaga keuangan syari’ah secara keseluruhan dalam laporan publikasi keuangan, mengkaji produk dan jasa baru yang belum memiliki landasan fatwa untuk diajukan kepada DSN MUI, dan menyampaikan laporan hasil pengawasan syari’ah kepada semua pihak yang berkepentingan.
Idealnya, DPS dalam lembaga keuangan syari’ah dapat bersikap profesional. Dewan Pengawas Syari’ah merupakan salah satu ikon pembeda lembaga keuangan islam dengan konvensional. Menurut Prof. Akhyar Adnan, Ketua Pusat Pengembangan Eknomi Islam (PPEI) berpendapat bahwa profesional harus memenuhi minimal enam faktor.
Pertama, kompetensi (Kemampuan). Seorang yang profesional harus memiliki kemampuan yang sesuai dengan bidangnya. Jika disebutkan diatas bahwa DPS berperan sebagai pengawas syari’ah sekaligus operasional lembaga keuangan syari’ah maka kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang anggota DPS adalah memiliki kompetensi dibidang hukum syari’ah /fiqih muamalah sekaligus keuangan dan operasional lembaga keuangan. Jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi, maka aspek kompetensi dianggap gugur.
Kedua, full time commitment. Mendedikasikan waktu khusus untuk bidang yang dtekuni. Bagaimana dengan DPS? Dari hasil laporan GCG beberapa bank syari’ah di Indonesia dapat kita lihat bahwa beberapa anggota DPS adalah orang-orang yang sibuk dengan banyak tanggungjawab sekaligus. Misal, menjadi anggota DPS sekaligus dosen, pengusaha, merangkap jabatan sebagai anggota DPS di beberapa lembaga dalam periode yang sama.
Ketiga, member of association. Menjadi anggota sebuah perkumpulan. Para anggota DPS yang ada di Indonesia, pada umumnya merupakan bagian dari komunitas pengembang ekonomi islam. Diantara mereka tentu tidak hanya aktif sebagai bagian dari komunitas ekonomi islam. namun juga sebagai aktifis di berbagai bidan, bisnis, dan lingkungan. Hal ini menjadi penting untuk mendapatkan pengetahuan yang luas. Keempat, continous learning. Belajar terus menerus. Sebagaimana misi hidup manusia, belajar sejak dalam buaian hingga liang lahat, tiada henti. Belajar dimanapun berada, bahkan jika harus ke negeri china. Bagaimana dengan para anggota DPS? Semoga demikian.
Kelima, ethic. Etika, perilaku sosial lembaga. Baik anggota DPS sebagai pribadi ditengah masyarakat, maupun sebagai bagian dari Dewan Pengawas lembaga keuangan harus menjaga integritas dan etika. Betapa tidak pantas jika “seandainya” anggota DPS terlibat dalam kasus korupsi atau lainnya yang membawa nama baik lembaga. Akan timpang jika “seandainya” seorang anggota DPS tidak dianggap sebagai orang yang sholeh di lingkungan tempat tinggalnya. Entah misalnya karena pelit atau tidak peduli pada lingkungan sekitar,. Karena pada dasarnya hal ini bertentangan dengan semangat dakwah islam yang mengutamakan silaturrahim dan perdamaian diatas kebenaran.
Keenam, fairly compensated. Gaji yang seimbang dengan kompetensi yang dimiliki. Tentang remunerasi anggota DPS, kita dapat melihat anggaran remunerasi dalam laporan GCG Bank Syari’ah mencapai ratusan juta per tahun per anggota. Untuk apa sebenarnya anggaran sebesar itu? Benar, memang tidak ada yang salah dengan gaji tinggi, jika memang sesuai dengan profesionalitas. Dalam kasus DPS, melihat peran mereka yang memang sangat penting dalam sebuah lembaga keuangan islam maka secara hukum positif tidak ada yang salah dengan gaji yang disediakan oleh lembaga keuangan islam di Indonesia. Namun, sesuaikah besaran gaji tersebut dengan profesionalitas yang diberikan oleh para anggota DPS?
Pada umumnya, anggota Dewan Pengawas syariah ditunjuk dalam Rapat Umum Pemegang Saham, yang diusukan oleh direktur. Sebagai “pegawai” dari lembaga terkait, DPS harus melaporkan kinerjanya kepada dewan direksi. Gaji mereka juga diusulkan oleh pihak manajemen perusahaan dan diputuskan oleh direktur. Dengan demikian anggota DPS berhubungan erat dengan dewan direksi dan manajemen perusahaan. Lalu bagaimana mungkin DPS dapat bertindak objektif dalam melaksanakan tugasnya sebagai assesor dan penasehat independen dari perusahaan?