Mohon tunggu...
Rizki Septina
Rizki Septina Mohon Tunggu... -

Unik, hanya ingin menjadi diriku sendiri yang seperti ini. Saya suka tumbuh-tumbuhan, bunga, binatang, menggambar, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

ANAK

9 Oktober 2010   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:35 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Alasan saya dan dia belum punya anak sampai sekarang? Banyak. Eh sebelumnya kalian kan tau, saya dan dia penuh konflik sepanjang pacaran sampai dengan menikah sekarang. Mungkin itu salah satu alasan dari sekian banyak alasan kenapa saya dan dia menunda punya anak. Ralat, sebenarnya saya yang maksa buat nunda punya anak.

Omong kosong disuatu sore, ketika saya dan dia tengah duduk bersama diserambi rumah. Dia bilang jika punya anak kelak, dia akan memberi nama xxx, saya langsung mengernyitkan dahi. Sungguh keren, namun tidak ada makna dan artinya! Sedangkan menurut saya, nama adalah doa. Jadi jika sungguh keren namun tanpa makna, tetap saja.. Ah entahlah, saya memilih tidak menghasilkan anak lebih dulu ketimbang kemudian ada anak tapi kemudian bertengkar lagi dan lagi gara-gara nama.

Kemudian, dia bilang bapak saya yang galak mendidik saya tanpa kasih sayang, hingga saya besar sebagai manusia yang keras, saya bilang bapak dia yang memanjakan menghasilkan anak yang super pengecut semacam dia. Dia bilang bapak dia baik, saya bilang bapak saya yang baik. Tapi bukankah dia yang nantinya jadi bapak atas anak saya? Lalu anak saya akan dididik manja dan tumbuh dewasa sebagai pengecut seperti dia? Hah God! Please deh saya nggak mampu. Ini anak manusia, bukan komputer yang bisa diinstall ulang jika ada kesalahan!

Terus, Disini, ditempat ini, bukan tempatku melainkan tempatnya, segala sesuatu dilarang. Mulai dari masang gambar didinding, sampai maenan boneka. DILARANG KERAS layaknya dilarang maen api di pom bensin. Ditempat saya, segala sesuatu diperbolehkan. Mulai dari main kertas, sampai maen lumpur. lalu jika saya dan anak saya tetap disini suatu hari nanti, mau jadi apa anak saya? anak patung yang terpenjara dalam rumah? TIDAK!

TIDAK BISA! Membayangkannya saja saya tidak sanggup. Apa lagi merealisasikannya. Padahal anak itu kelak adalah bukan hak milik saya sendiri melainkan milik dia juga karena hasil dari sel telur saya dan sperma dia. Hasil dari kerja kelompok, bukan individu.

Otomatis hal seperti ini tidak bisa lalu begitu saja. Saya kepikiran. Membuat hari hari saya agak dramatis. Karena tentu sebagai wanita saya ingin kehadiran seorang anak. Yang punya nama mengandung doa, yang dididik dengan baik, yang punya asuransi kasih sayang dari mamah dan papahnya bagaimanapun keadaan orang tuanya hari ini atau kelak, yang diarahkan menuju cita-citanya, bukan dibelokkan menuju cita-cita saya atau dia yang tak kesampaian.

Mungkin jadi perlu jalan keluar. Membuat dua anak dengan dihak milik masing-masing, saya satu, dia satu? Atau mungkin masing masing membuat anak dengan orang lain, namun tetap hidup bersama. Ah aneh nian otak saya! Entahlah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun