Mohon tunggu...
Eva
Eva Mohon Tunggu... Mahasiswa -

i'm catching anything around

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Get Out: Sebuah Sentilan untuk Rasisme

4 Mei 2017   11:01 Diperbarui: 4 Mei 2017   11:16 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: imdb.com

Sekitar satu bulan lalu, saat saya sedang menonton di bioskop, saya melihat trailer film Get Out. Ada yang sudah nonton? Iya, saya sudah menonton film tersebut. Ketika saya melihat trailer-nya, saya masih belum tau genre apa sebetulnya film tersebut, apakah horror atau thriller, mengingat di trailer yang saya tonton tersebut, rumah produksi yang memproduksi Get Out adalah rumah produksi yang memproduksi film-film horror seperti Insidious dan The Conjuring (dan judul-judul itu yang mereka tempel di trailer-nya). Satu yang saya tau dari film ini ketika menonton trailer-nya, film ini berbicara tentang ras.

Diceritakan Chris (Daniel Kaluuya) adalah seorang fotografer berkulit hitam yang sedang menjalin hubungan dengan Rose Armitage (Allison Wiliams), seorang gadis berkulit putih. Karena hubungan mereka sudah berjalan lima bulan dan mulai serius, Rose pun mengajak Chris untuk berkunjung ke rumah orang tuanya. Chris sempat ragu dan bertanya kepada Rose, apakah Rose sudah memberi tahu kedua orang tuanya bahwa ia berkulit hitam, namun Rose meyakinkan Chris bahwa ayahnya bukan seseorang yang rasis dengan mengatakan, "if he could, he would voted Obama for the third term."

Chris dan Rose pun memulai perjalanan mereka, sampai tiba-tiba terjadi suatu kecelakaan di mana Rose menabrak seekor rusa. Tidak ada masalah yang cukup besar, namun rusa tersebut selalu ada di bayang-bayang Chris. Setelah sampai, akhirnya Rose memperkenalkan Chris kepada ayahnya (seorang dokter bedah) dan ibunya (seorang psikiater yang mampu melakukan hipnosis), serta saudara laki-lakinya yang merupakan mahasiswa kedokteran. Chris juga diperkenalkan kepada asisten rumah tangga keluarga tersebut, yang salah satunya berkulit hitam. Klise, sampai di sini.

Merasa kurang nyaman berada di lingkungan kulit putih, Chris pun berusaha untuk mengobrol dengan Walter (Marcus Henderson) asisten rumah tangga keluarga Armitage yang berkulit hitam. Saya rasa, tentu hal ini biasa terjadi, termasuk di antara kita. Di dalam sebuah lingkungan yang membuat kita merasa asing, kita akan berusaha untuk membuka hubungan atau pertemanan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang sama dengan kita. Namun, sayangnya Chris justru merasa Walter memiliki tindak-tanduk yang sangat aneh. Begitupun dengan yang lainnya. Sudah mulai menemukan korelasinya? Saya harap belum, karena saya tidak ingin menjadi spoiller di sini. Jadi, sampai di sini cerita tentang filmnya.

Untuk saya, isu yang diangkat dalam film Get Out ini cukup berat dan sensitif. Isu ras yang ditampilkan bukan hanya berbicara mengenai sentimen warna kulit, tapi juga stereotype yang ikut melekat di dalamnya. Jordan Peele, sutradara dan penulis film ini, sangat detail dalam menceritakan isu ini, bagaimana stereotype tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana pula manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda, bisa merasa resah dengan yang lain. Yang membuat film ini menjadi berkualitas, karena isu yang sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari ini bisa tergambar dengan sangat detail, tapi tidak memusingkan orang-orang yang menonton.

Mungkin, dalam hati orang-orang, akan ada yang tidak setuju ketika saya bilang masalah rasis dan perbedaan latar belakang tidak dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Akan ada orang yang menyatakan bahwa di Indonesia, tidak rasis. Buat saya, perasaan tersebut ada, karena kita sendiri sudah menerima stereotype itu pada diri kita. Kita menerima stereotype bahwa suku Jawa harus berbicara lembut, sebaliknya dengan suku Batak, dan yang lainnya. Sedangkan perbedaan latar belakang, kalau kita merasa nyaman dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, saya rasa perkumpulan suku, perkumpulan agama di institusi-institusi, atau perkumpulan bapak-bapak, perkumpulan ibu-ibu, perkumpulan mahasiswa Indonesia di luar negeri, dan perkumpulan-perkumpulan lainnya tidak akan laku. Jadi, isu ini memang dekat dengan hidup kita, dan buat saya itu tidak salah. Menjadi salah ketika kita merasa bahwa ada satu ras, satu kelompok tertentu yang lebih rendah dari yang lain.

Oke, kembali ke film Get Out, tidak hanya masalah rasial yang jadi premis dalam film ini. Masalah ras yang ditampilkan di awal merupakan pengantar untuk sesuatu yang lebih besar. Overall, saya suka film Get Out ini. Film nya menarik, menawarkan ide yang cukup gila dan sensitif, tapi tidak rumit dan mudah dicerna karena penyampaiannya yang memang rapi dan cukup beraturan. Di sini saya juga terkecoh sama banyak tokoh, tokoh yang saya pikir tadinya sangat pengertian dan baik, malah menipu. Oya! Ada satu tokoh yang lucu banget di film ini, yaitu Rod (LilRel Howery). Di sini Rod adalah teman Chris, dan dia bekerja sebagai polisi TSA. Rod ini lucu sekali karena dia selalu menganggap bahwa orang kulit putih selalu memiliki kecenderungan seks yang tinggi, dan orang-orang kulit hitam akan dijadikan, ehem, sex-slave oleh mereka. Rod super menghibur di film ini.

So, bagi yang belum nonton, mari segera nonton film ini. Sayangnya, saya rasa sudah tidak tayang di bioskop. Jadi, harus nonton dengan cara-cara lain, yang penting jangan gunakan cara yang ilegal ya. Happy watching! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun