Pilkada DKI telah usai dan menghasilkan gubernur baru terpilih. Meskipun belum ada hasil resmi dari KPU DKI yang menetapkan pemenang pilkada tersebut, namun hasil sementara quick count sudah sangat clear dan pasti bahwa yang memenangkan pilkada rasa pilpres ini adalah pasangan nomer urut 3 yaitu pasangan Anis-Sandi. Pemenang versi quick count ini hampir dapat dipastikan akan menjadi pemenang hasil resmi hitungan KPU DKI Jakrata karena selisih suara yang sangat besar rata – rata 10 persen s.d 16 persen suara.
Kekalahan petahana, pasangan nomer urut 2 memang sudah diprediksi banyak pihak karena adanya kasus dugaan penistaan agama yang menimpa cagub pasangan tersebut. Kasus ini merupakan episentrum yang menggerus sentimen positif, elektabilitas, empati dan dukungan terhadap pasangan calon nomer urut 2. Kondisi ini benar – benar dimanfaatkan dengan baik oleh pasangan calon nomer urut 3, tim sukses, relawan, simpastisan untuk mengambil keuntungan politik dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta.
Dari sisi pasangan calon nomer urut 2, kasus dugaan penistaan agama tersebut membuat pasangan calon, tim sukses, relawan dan simpatisan memiliki pekerjaan ekstra yang menyita tenaga, pikiran, waktu, konsentrasi untuk melakukan klarifikasi isu – isu, propaganda, agitasi aksi negative dan kontra yang berkembang luas di masyarakat DKI Jakarta, bakan melibatkan masyarakat daerah luar Jakarta yang tentunya sangat merugikan pasangan nomer urut 2 secara politik dalam konteks konstestasi pilkada DKI Jakarta. Beberapa hal dan kondisi yang menyebabkan kekalahan paslon nomer 2 antara lain : kasus dugaan penistaan agama ini juga telah mampu membuat tim sukses, relawan, simpastisan pasangan calon nomer urut 2 memiliki ruang gerak kampanye yang semakin sempit karena adanya penolakan yang massif di berbagai wilayah DKI; Mendegradasi psikologis tim pemenangan dalam kerja – kerja dan kampanye politik;Gamang dalam menghadapi serangan politik lawan, sehingga strategi dan program kerja yang ditawarkan tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat Jakarta; Branding calon yang dikampanyakan menjadi tidak focus sehingga masyarakat tidak mendapatkan pesan dan kesan yang jelas dan mendalam. Di bawah ini dijelaskan uraian hal dan kondisi yang menyebabkan kekalahan paslon nomer 2
Ruang gerak kampanye pasangan calon nomer urut 2 yang semakin sempit karena adanya penolakan yang massif di berbagai wilayah DKI Jakarta membuat kerja – kerja politik tidak efektif di lapangan. Tim pemenangan dan relawan harus selektif dan hati - hati dalam memasuki wilayah - wilayah kampanye yang seharusnya dapat dengan leluasa untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas. Tidak hanya itu, pasangan calon nomer urut 2 dan tim pemenangan juga pada saat di lapangan kerap mendapat gangguan langsung seperti penghadangan, demo, lemparan – lemparan, teriakan – teriakan provokatif dan tidak jarang memicu bentrok fisik. Ruang atau lapangan yang seharusnya dimiliki dan dimanfaatkan dengan setara oleh seluruh pasangan calon menjadi sangat tidak berimbang dan sangat merugikan pasangan nomer urut 2. Di sisi lain competitor dalam hal ini pasangan nomer urut 3 dengan leluasa menjelajahi seluruh wilayah dan sudut –sudut kota Jakarta, bahkan hampir sebagian besar tempat – tempat ibadah, acara – acara ibadah menjadi sarana kampanye yang sangat efektif dikarenakan situasi yang ada bagi tim pemenangan dan pasangan tersebut. Dan aparat kepolisian, bawaslu, KPU tidak maksimal dan cenderung pasif dalam mengatasi penyempitan ruang kampanye yang dialami paslon 2.
Terjadi degradasi psikologis tim pemenangan, relawan, simpatisan dalam kerja – kerja dan kampanye politik. Hal ini terlihat dari berkurangnya aktivitas yang melibatkan kebersamaan tim pemenangan, relawan, simpatisan dan massa pendukung. Ketua partai atau sekjend partai pendukung tidak rutin bertemu untuk melakukan konsolidasi pemenangan paslon yang diusung. Padahal hal ini sangat penting untuk menunjukkan, memberi kesan kepada warga Jakarta bahwa partai pendukung solid dalam memenangkan paslon 2. Militansi partai pendukung tidak seperti pra berkembangnya dugaan penistaan agama yang menimpa cagub paslon nomer 2. Mesin partai pendukung melalui struktur partai, organisasi sayap partai tidak menunjukan kinerja yang massif di lapangan. Hal ini sangat terkait dengan kondisi penyempitan ruang akibat kasus dugaan penistaan agama cagub nomer urut 2. Tim pemenanangan, relawan, simpatisan cenderung menahan diri mengingat situasi yang berkembang, sehingga ini sangat menguras kondisi psikologis karena tentunya sangat melelahkan dan menjadi beban berat.
Gamang dalam menghadapi serangan politik lawan, sehingga strategi dan program kerja yang ditawarkan tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat Jakarta. Hal ini terlihat jelas dalam komunikasi yang dijalankan pasangan nomer urut 2. Tim sukses, juru bicara , relawan, simpatisan lebih cenderung sibuk menyerang program paslon nomer urut 3, hingga lupa atau katakanlah tidak maksimal dalam menyampaikan program, keberhasilan paslon nomer urut 2 itu sendiri. Sebagai contoh program paslon 3 untuk rumah DP Rp 0,- untuk rumah tapak, justru paslon 2 yang terus - menerus mengkritisi membuat panggung retorika yang lebih mendalam bagi paslon 3. Padahal program tersebut tidak akan pernah wujud di dunia nyata alias tidak penting. Isu reklamasi di mana paslon 3 kontra terhadap adanya reklamasi, lagi – lagi paslon 2 terjebak dalam panggung retorika paslon 3 tentang isu keadilan dalam permasalahan reklamasi tersebut. Dan ada banyak lagi isu lain dan program lainnya, yang sebenarnya sebagian besar omong kosong tetapi berhasil dikapitalisasi oleh paslon nomer 3, dan secara tidak langsung dibantu oleh paslon nomer 2. Peristiwa tersebut dapat dilihat dari acara – acara talk show, perdebatan yang dilaksanakan stasiun tv, radio, media social, bahkan di acara debat resmi paslon yang diselenggarakan KPU.
Branding calon yang dikampanyekan menjadi tidak focus sehingga masyarakat tidak mendapatkan pesan dan kesan yang jelas dan mendalam. Tagline atau jargon kampanye pasangan calon nomer urut 2 itu sesungguhnya dari awal adalah “kerja, kerja, kerja” untuk Jakarta. Tetapi dalam perjalanannya justru tagline atau tema besar kampanye paslon nomer urut 2 ini tidak mengemuka dan tidak mendominasi setiap aktivitas kampanye, kerja – kerja politik paslon 2. Masyarakat Jakarta menjadi tidak mendapat inti dari perjalanan proses kampanye dan kerja politik paslon 2 selama masa kampanye pilkada. Komunikasi dan aktivitas paslon dengan rakyat kebanyakan diisi justru dengan hal – hal yang jauh dari tema tersebut. Iklan – iklan politiknya justru lebih cenderung kepada isu kebinekaan, melawan sektarianisme yang sesungguhnya sudah tidak menarik dan bukan suatu hal yang menjadi concern masyarakat karena masalah tersebut sesunggunya sudah dianggap selesai, meskipun masih ada letupan – letupan permasalahan tersebut di masyarakat pada momen-momen tertentu. Jakarta kota yang paling maju dan modern di Indonesia sebenarnya sudah sangat sambung dengan tagline “kerja, kerja, kerja” namun tidak tersampaikan dengan baik. Bahkan mendekati hari-hari terakhir kampanye paslon nomer 2 mendapatkan pukulan yang sangat telak ketika mengeluarkan iklan yang menimbulkan kontroversi. Salah focus branding merupakan salah satu hal dari tiga hal lainya yang mengakibatkan suara paslon 2 tidak bergerak naik dari perolehan suara di putaran pertama.
Namun demikian, terlepas dari kekalahan itu, pantas diapresiasi masyarakat Jakarta yang memberikan suaranya untuk paslon 2 adalah individu atau warga yang memiliki jiwa yang kuat. Tidak goyah terhadap intimidasi dan provokasi, tidak terbuai dengan mulut dan janji manis bibir dari lidah yang tak bertulang. Tidak terbuai terhadap propaganda ganjaran surga dan tidak takut dengan imajinasi hukuman neraka untuk keperntingan politik sesaat. Jakarta patut berbangga dan optimis karena ternyata warganya masih banyak yang memilih akal sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H