Mohon tunggu...
Politik

Anies Baswedan Pimpin Jakarta dengan Cara yang "Udik Parah"

3 April 2018   09:45 Diperbarui: 3 April 2018   09:57 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya saya malas menulis tentang Anies Baswedan (AB), karena saya merasa terlalu mubazir waktu dan pikiran saya untuk diberikan kepada seorang AB . Tetapi, dikarenakan kasihan pada masyarakat Jakarta, dan gaya si AB yang kian tak jelas, akhirnya tidak tahan juga untuk menumpahkan kekesalan saya atas kepemimpinan si AB ini.

Target

Kepemimpin yang efektif harus memiliki target, atau Bapak manajemen modern, Peter Drucker mengistilahkannya dengan istilah Management by objectives. Target akan menuntun seorang pemimpin untuk mengalokasikan sumber daya dengan efektif dan efisien. Dengan adanya target maka kinerja akan dapat diukur sepanjang proses berlangsung secara terus menurus, hingga suatu pekerjaan selesai pada posisi tepat jumlah, tepat waktu, tepat kwalitas dan tepat biaya. Penentuan target juga akan dapat menunjukan siapa dan seperti apa pemimpin itu.

Apakah biasa -- biasa saja, apakah pemimpin yang memiliki visi besar yang memberikan gambaran suatu lompatan kemajuan. Tanpa target seperti kepemimpinan Anies Baswedan saat ini hanya akan menjalankan pemerintahan DKI seperti apa adanya alias mengelinding, tidak dapat dinilai, sulit untuk dapat dikritisi dan tidak memberikan harapan baru, hanya doing works as usual. Dan kelihatannya AB memang sedang menepatkan kepemimpinannya di wilayah abu -- abu.

Sekarang kita tidak mendengar lagi, tidak melihat lagi apa saja target  besar pemprov Jakarta dengan APBD besar yang dimilikinya. Berapa banyak rumah DP nol rupiah akan di bangun di tahun 2018, berapa banyak kampung kumuh yang akan dibereskan di 2018, berapa banyak titik -- titik banjir yang akan dikurangi di 2018, berapa banyak bus untuk bus way transjakarta yang akan ditambah di 2018 untuk menurunkan waktu tunggu penumpang bus, berapa banyak koridor bus way yang akan dibangun di 2018.

Berapa panjang trotoar akan dibangun di 2018. Berapa ruang terbuka hijau yang akan diciptakan di 2018, berapa banyak penduduk miskin yang direlokasi ke rumah DP nol rupiah di 2018, berapa panjang sungai yang akan dinormaliasisi atau dinaturalisasi (istilah AB) di 2018. Berapa banyak kartu jakarta plus yang akan dibagikan kepada rakyat di 2018. Semua menguap, masyarakat tidak mengetahui, tidak ada yang dapat dijadikan masyarakat sebagai suatu acuan kinerja sebuah pemerintahan.

Uang APBD Jakarta yang begitu besar, lebih dari 74 triliun rupiah per tahun tidak diketahui masyarakat akan jadi apa. Masyarakat jadi buta dibuat oleh AB, karena tidak bisa menilai sejauh mana pekerjaan AB. Dan masyarakat akan bingung, tidak tahu apa yang harus dia tagih kepada pemerintahannya.

Sudah saatnya masyarakat bicara angka - angka, agar dapat diukur dengan baik tingkat keberhasilan suatu pemerintahan. Jangan lagi bicara kualitatif yang cenderung wilayah abu - abu karena, mulut politisi, penguasa jauh lebih licin dan menipu bila berdebat dalam tataran kualitatif. Bicara target dalam angka, index keberhasilan, rangking, itu yang harus dibudayakan oleh masyarakat kepada pemerintahannya, sehingga masyarakat mampu menilai dan mengukur kinerja pemerintah dengan faktual dan pasti.

Kebijakan

AB dalam mengambil kebijakan selalu pertimbangan utamanya adalah politik pencitraan, mencoba menciptakan branding yang kuat terhadap dirinya, agar dianggap (ingat, dianggap) berpihak kepada masyarakat kecil. Keberpihakan kepada masyarakat kecil adalah hal yang baik. Tetapi, keberpihakan yang didasari kepada kepentingan ambisi politik pribadi, hanya akan membawa kesengsaraan kepada kelompok masyarakat yang digunakan/diperalat dan kelompok masyarakat lain yang dirugikan. Dan pada akhirnya akan merusak tatanan yang sudah baik.

Sebagaimana kita melihat kebijakan AB perihal penataan tanah abang, melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, bahkan mengangkangi PERDA  DKI Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban dan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2012 tentang Lalu Lintas. Jalan dan trotoar digunakan untuk berjualan, menggunakan jalan dan trotoar yang dibangun dengan dana besar pada yang bukan peruntukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun