Orang Indonesia selalu memiliki hubungan yang tidak nyaman dengan identitas mereka. Terbaru, kelompok masyarakat sipil yang mengatasnamakan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PP-SS) mendesak PDIP melakukan pergantian antar waktu (PAW) atau mengganti kadernya di Komisi III DPR, Arteria Dahlan. Desakan itu buntut pernyataan Arteria yang sebelumnya meminta Jaksa Agung mengganti oknum Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) yang menggunakan bahasa Sunda dalam sebuah rapat. Arteria tak menjelaskan jaksa dan rapat yang dimaksud saat raker dengan jaksa agung tersebut.
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil turut menyesalkan sikap anggota DPR RI Arteria Dahlan yang meminta Kajati memakai Bahasa Sunda saat rapat diganti. Menurutnya pernyataan Arteria berlebihan. "Jadi saya menyesalkan statemen dari Pak Arteria Dahlan. Masalah bahasa yang sudah ada ratusan tahun (sampai) ribuan tahun menjadi kekayaan nusantara ini, kalau tidak nyaman disampaikan, sesederhana itu," kata Ridwan Kamil usai menghadiri sebuah acara di kawasan Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (18/1/2022).
Sambil menitikkan air mata, Ridwan Kamil mengatakan, tidak pantas orang yang terhormat, wakil rakyat, seperti Arteria Dahlan mengatakan hal yang menimbulkan kegaduhan publik sekaligus rasis. Tidak pantas Arteria Dahlan menganggap bahasa Sunda sebagai sesuatu yang mengganggu bila digunakan dalam rapat formal.
Tampaknya para elit perlu meluangkan waktu pada sore atau malam hari untuk pergi ke warung kopi pinggir jalan dan mengadakan nobar sepak bola, berbaur dengan rakyat jelata seperti pekerja bangunan atau tukang ojek serta PNS mampir kerja, untuk menonton beberapa pertandingan liga Indonesia atau pertandingan tim nasional. Mungkin mereka belajar sesuatu tentang menghormati sesama warga negara yang hidup di negara seperti Indonesia yang memiliki tantangan tersendiri dalam hal penggunaan bahasa. Dengan tidak kurang dari total 718 bahasa di Indonesia yang aktif digunakan, Indonesia tidak diragukan lagi merupakan salah satu negara dengan multibahasa terbanyak di dunia
Baca: Kadang Kemringgis, Kadang Lo-Gue, Apa Kabar, Seneng Lihat Sampeyan
Bulan Desember 2017 di Yogyakarta, Seminar yang bertajuk Sejarah untuk Kebinekaan dan Ke-Indonesiaan: Refleksi 60 Tahun Seminar Sejarah Nasional 1957-2017, yang berlangsung selama tiga hari ini diisi dengan presentasi dari 176 pembicara, namun hanya tujuh makalah yang membahas tentang ras dan suku. Hal ini menunjukkan bahwa ras dan etnisitas belum mendapat perhatian sentral yang semestinya dalam historiografi Indonesia.
Minimnya pembahasan etnis, baik dalam historiografi Indonesia maupun wacana publik membawa akibat langsung, termasuk rasisme, yang kemudian berujung pada kekerasan dan protes massa.
Konsep etnisitas dan ras sebagian tumpang tindih. Beberapa perbedaan etnis mungkin ada dalam karakteristik yang tidak dapat diubah, tetapi yang lain juga bisa ada tanpa determinisme genetik, menurut Thomas Hylland Eriksen dalam Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives. Pengertian keunikan budaya dan solidaritas sosial dikaitkan lebih erat dengan kategorisasi etnis, sedangkan sifat biologis atau genetik lebih erat terkait dengan ras, seperti yang ditulis oleh Chris Smaje dalam artikel jurnal Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives. Jadi meskipun anggota suatu ras mungkin tidak memiliki kesamaan budaya, mereka tetap menjadi bagian dari kelompok yang sama. Meskipun anggota suatu kelompok etnis umumnya menganggap mereka memiliki asal budaya yang sama, kesetaraan budaya dan integrasi sosial lebih penting sebagai ikatan solidaritas.
Pemahaman tentang etnisitas mendikte bahwa pertanyaan penting tentang "siapa yang termasuk dalam kelompok" dan "karakteristik apa yang mereka miliki" untuk memiliki etnis yang sama. Penandaan batas suatu kelompok tertentu termasuk bahasa, cakupan wilayah geografis tertentu, organisasi politik, agama, atau atribut lain yang terlihat atau tidak terlihat. Batas-batas ini kemudian membentuk kelompok etnis yang berbeda dari yang lain. Terkadang perbedaan ini sulit ditentukan oleh pihak luar, sehingga perlu menggunakan persepsi dari dalam kelompok etnis itu sendiri.
Tapi bagaimana batas etnisitas muncul di suatu wilayah? Beberapa suku bangsa di kepulauan Indonesia, karena berbagai alasan (migrasi, perdagangan, perang, agama, dan lain-lain), telah bergabung atau berubah identitasnya karena alasan ekonomi dan politik. Hal ini dapat menyebabkan batas yang lebih luas (atau lebih sempit) untuk kelompok etnis tertentu. Kelompok etnis yang tergerus oleh batas-batas kelompok yang lebih dominan terkadang hilang dari sejarah setelah mereka terpinggirkan, dan tulisan sejarah yang mengabaikan orang-orang yang terpinggirkan adalah warisan kolonialisme.
Naluri kaum kolonialis untuk memiliki kekuasaan penuh atas wilayah jajahannya seringkali mendorong mereka untuk menghasilkan pengetahuan dengan fungsi melanggengkan kekuasaan. Mereka menghasilkan narasi yang menunjukkan perlunya kontrol ketat terhadap hubungan negara dan masyarakat. Komunitas dikendalikan melalui dikotomisasi, diversifikasi, dan segregasi komunitas untuk memungkinkan proses administrasi (atau eksploitasi) yang efektif dan efisien.