Untuk mendukung pemerintahan yang langgeng, tatanan sosial yang dibangun oleh penjajah didasarkan pada pembagian identitas, termasuk etnisitas. Sejarawan Inggris Anthony Stockwell mengatakan bahwa orang Eropa memanfaatkan perbedaan di antara masyarakat adat di Asia Tenggara untuk mengendalikan mereka semua. Dari masa penjajahan Indonesia, ia mencatat bahwa Tentara Hindia Belanda (KNIL) merekrut orang Ambon dari Maluku karena dikenal memiliki kemampuan bela diri yang lebih baik dibandingkan dengan orang Jawa. Jumlah prajurit KNIL terus bertambah karena kebutuhan untuk melakukan operasi kontra pemberontakan dan mempertahankan kekuasaan Belanda di Nusantara.
Etnisitas selama masa kolonial merupakan hal yang sangat kontras dan membentuk perpecahan dalam konfigurasi masyarakat hierarkis. Dafna Ruppin, yang mengkaji kemunculan penonton modern untuk sinema di Jawa pada akhir abad 19 dan awal abad 20, menyoroti pluralitas penonton bioskop berdasarkan kelas sosial, dialek, dan etnis. Dia mengamati bahwa persinggungan gender, etnis, dan kelas di bioskop dan masalah etnisitas di dalam bioskop menjadi penyebab diskriminasi dalam pemutaran film.
Paradoksnya, diskriminasi tersebut menciptakan ikatan yang kuat di antara penduduk asli yang menonton film tersebut. Dalam kajian Ruppin, kategorisasi kelompok masyarakat oleh sejarawan JS Furnivall masih terlihat jelas, terutama dalam kategori harga tiket yang membagi tiga kelas: Eropa, Asia dari tempat lain, dan pribumi. Pembagian kursi di bioskop juga berdasarkan etnis. Tempat duduk kelas satu adalah untuk orang Eropa. Kursi kelas kedua dan ketiga adalah untuk orang Asia dari tempat lain. Masyarakat adat mendapat tempat di kelas bawah. Tiket khusus terkadang ditawarkan kepada orang Asia dari tempat lain yang bersedia membayar lebih, dan ini juga berlaku untuk penduduk asli yang mampu membeli tempat duduk yang lebih baik. Mengingat banyaknya kursi di bioskop, pengusaha bioskop akan mendapat untung paling banyak jika penontonnya,dari latar belakang etnis apa pun, dapat membayar kursi yang mereka inginkan. Situasi ini menunjukkan fleksibilitas batas-batas etnis dan kelas sosial ekonomi di teater kolonial.
Hingga saat ini, rekayasa sosial masa lalu terus direproduksi oleh para akademisi di masa pasca-kolonial. Dalam Imagined Communities, Benedict Anderson mengontraskan gerakan nasionalis anti-kolonial di Hindia Belanda dan Indochina Prancis, yang tidak didasarkan pada ideologi, politik, atau kelas sosial melainkan pada geografi dan etnisitas. Di Hindia Belanda, gerakan nasionalis anti-kolonial berusaha menyatukan nusantara (Nusantara) dan berbagai suku bangsa menjadi satu negara Indonesia yang bersatu berdasarkan gagasan "Bhinneka Tunggal Ika".
Di Indocina, sebaliknya, pembagian etno-geografis tidak disatukan oleh reaksi umum terhadap kolonialisme Prancis, dan koloni-koloni itu akhirnya terpecah menjadi negara bagian Vietnam, Kamboja, dan Laos yang terpisah. Tanggapan orang Indonesia, Vietnam, Kamboja, dan Laos terhadap kolonialisme merupakan contoh dari apa yang David Henley sebut sebagai nasionalisme integratif dan eksklusif. Penjelasan Henley dan Anderson menunjukkan betapa pentingnya bagi para sarjana untuk melihat proses sejarah kelompok etnis.
Komposisi demografis masyarakat Asia Tenggara yang terdiri dari berbagai etnis menunjukkan pentingnya memandang etnisitas dalam proses pembangunan bangsa dan penciptaan nasionalisme.
Nasionalisme berbasis etnis sudah ketinggalan zaman, dan inilah saatnya untuk beralih ke bentuk nasionalisme baru . Namun, semua itu harus dimulai dengan pemahaman sejarah yang jernih dari masyarakat kita untuk meningkatkan pemahaman kita tentang masa kini dan mempersiapkan diri untuk tantangan masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H