Berdasarkan ketiga rangkuman informasi tersebut Ayatroehaedi menyimpulkan bahwa yang sepatutnya berjuluk Prabhu Siliwangi pada awalnya adalah Raja Niskalawastukancana yang memerintah cukup lama dan kerajaan berada dalam keadaan aman sejahtera periode 1348-1474 Masehi, suatu masa yang panjang dalam pemerintahan seorang raja Sunda Kuno.
Sementara Nina Herlina Lubis dalam makalah yang berjudul Prabu Siliwangi Sebagai Leluhur ELit Politik Priangan, Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran di Bogor tahun 1991, menyatakan
Prabu Siliwangi dijadikan titik pangkal atau leluhur elit politik Priangan (para bupati dan ningrat) pada masa kolonial Belanda yang dianjurkan oleh pemerintah kolonial agar para bupati memiliki otoritas tradisional dalam menjalankan kebijakan pemerintahan penjajahan. Hal ini berarti bahwa tokoh Prabhu Siliwangi semakin dikenal secara meluas oleh masyarakat Sunda pada zaman penjajahan Belanda. Pada era tersebut tidak diperlukan kepastian siapa jatidiri Silwangi, namun tokoh tersebut memang diperlukan untuk melancarkan sistem pemerintahan Bupati Priangan dalam rangka penjajahan Belanda.
Bahkan, Prabu Siliwangi juga disebutkan sebelum benar-benar menghilang, dalam Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit, halaman 16, ia meninggalkan amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi ini
Ti mimiti po ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal ra nu malungkir! Tapi engk jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu mak amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu ardan heula. (Dari mulai hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang akan mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, tapi menelusurinya harus memakai dasar. Tapi sayangnya yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara)
Setelah menyampaikan pesan, Prabu Siliwangi kemudian nga-hyang. Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda:
Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung." (Kalau aku sudah tidak menemanimu, lihat saja tingkah laku harimau).
Sementara dalam Babad Siliwangi, diterangkan bahwa Siliwangi berarti "asilih wewangi" (berganti nama/gelar). Hal ini bersesuaian dengan Prasasti Batutulis yang menerangkan bahwa Sri Baduga atau Jayadewata dua kali dinobatkan. Pertama ia dinobatkan dengan menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, lalu namanya diganti ketika dinobatkan untuk kali kedua:
Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusa Larang.