Mohon tunggu...
kibal
kibal Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan dari Desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Karantina, dari Kecemasan, Penyesalan, dan Bayang Kematian

7 Mei 2020   05:12 Diperbarui: 8 Mei 2020   01:09 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan akhirnya saya telah sampai, bahkan melewati beberapa hal yang saya anggap keputusan-keputusan ini, tapi tidak untuk mengamankan diri. 

Kuputuskan untuk pulang setelah melewati pertimbangan yang cukup panjang dan ternyata tidak matang, membawa kecemasan untuk diri sendiri, dan "mungkin" membuat risih orang-orang sekitarku -- tentu terkecuali ibu dan bapak.

Saya  tiba dengan rasa cemas yang menggunung, padahal beberapa belas jam sebelumnya kecemasan ini masih mampu kubungkus rapat-rapat dengan perencanaan-perencanaan yang telah kubuat sebelum berangkat, semisal otak yang harus kupastikan tetap aktif mengawasi kalau-kalau tanganku bergerak baik itu disengaja maupun refleks. 

Juga bagaimana mensiasati aktivitas-aktivitas seperti ke kamar mandi, bagaimana nantinya jika hendak berjemur yang katanya baik untuk daya tahan tubuh, makan dan cuci piring sendiri hingga menentukan cara tidur yang akan selalu kubarengi dengan niatan meminimalisir resiko. 

Di luar dari hal-hal seperti itu, kupastikan akan lebih banyak diam. Tak lupa kuingatkan pada diri sendiri agar berpikiran yang sewajarnya saja.

Sekonyong-konyong bangunan perencanaan itu runtuh setiba dirumah saat terpaksa harus menahan diri mencium tangan bapak dan mencium kening ibu sebagai legitimasi bahwa lanangnya benar-benar telah pulang dimasa peceklik ini. Tiba-tiba saja pikiran akan resiko-resiko tumpah, dan tak terbendung hanya oleh sekedar berpikir positif.

Dan astaga, kabut tebal serasa memenuhi mataku. Berdiri beberapa meter sebagai tanda mengatur jarak, Bapak menghajarku dengan sorot yang tajam seolah Ia mendapati luapan perasaan yang kukepal, sedang Ibu, dengan senyum tersimpul mendekat lalu kutampik dengan mengambil beberapa langkah ke belakang. "Ya Tuhan, saya membahayakan mereka" batinku meringis. Tak ada percakapan.

Sesegera mungkin menuju kamar mandi membersihkan badan dan mencuci baju yang kukenakan sesuai protokol pencegahan.  

Apalagi di batas Desa tadi, pasukan gugus tugas telah menghujaniku -- bukan menyemprot -- cairan disinfektan yang sebenarnya belum jelas apakah itu baik untuk kesehatan. Setelahnya masuk kamar mengamankan diri.

Ya, kamar. Seperti biasa setiap kutinggalkan, akan selalu kujumpai kamar ini dalam keadaan nyaris tanpa debu sebutir pun. Ibulah yang rutin membersihkannya, meskipun di rumah hanya ibu dan bapak, ruangan yang kurang lebih 2x3 meter ini tak pernah luput dari perhatian mereka.

"Wooww dan selamat datang lagi, Bung! wahahaha!" seolah disambut girang oleh kursi, meja baca, kasur, lemari, botol-botol minuman keras yang dijadikan hiasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun