Pengalaman menggembirakan yang dicatat dalam sejarah pemikiran Islam pramodern adalah peraktek toleransi penuh yang berakibat pada kesetaraan penuh dihadapan hukum yang diberlakukan dalam pemerintahan Islam generasi perintis. Dengan kata lain, akar-akar teologis toleransi telah menjadi prinsip yang amat kuat dalam tradisi Islam pramodern. Kata toleransi dalam istilah ushul fiqh (Islamic Jurisprudence) adalah setara dengan kata “Tasamuh”.
Akar teologis tentang toleransi dan peraktek prilaku toleran dapat dilihat dengan amat baik oleh Muslim generasi awal dapat diungkap sebagai berikut; pertama bahwa prinsip utama teologi toleransi dalam Islam, adalah dengan meletakkan perbedaan keyakinan sebagai kehendak Allah. Salah satu teks paling eksplisit berkaitan dengan prinsi ini adalah QS. 10:99 “Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya semua manusia yang ada di bumi ini akan beriman seluruhnya. Hendakah kamu paksakan juga orang lain supaya beriman (hai Muhammad)”.
Menafsirkan ayat ini Jalalludin al Mahali dan Jalaluddin ash Syuyuti dalam tafsir al –Jalalain. Menulis “Hendakah kau paksa jugakah orang untuk melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin melakukan terhadap mereka?”. Lebih jauh tafsir al Jalalain menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad dan seharusnya otomatis bagi penerusnya adalah hanya untuk menyampaikan pesan (balagh), atau tidak adanya kewajiban bagi Nabi untuk membawa orang untuk masuk Islam, sebab ayat sebagaimana dikutip di atas dilanjutkan “Dan apapun yang kamu berikan (kepada nonmuslim) dengan cara yang baik, adalah untuk kamu sendiri”.
Prinsip kedua adalah terlihat dari kesediaan al-Qur’an menyebut non-muslim sebagai ahli kitab (ahl al- kitab). Konsep ahl al kitab ini tentu jauh melampaui batas toleransi yang terjadi dalam tradisi Katolik sebelum Konsili Vatikan II 1962. Luasnya cakupan dari konsep ahl al kitab ini menjadi sangat tidak terhingga ketika dilihat dari preseden sejarah, dimana ketika ekspansi Muslim generasi awal bertemu dengan umat Hindu di Sind misalnya. Pemimpin pasukan Islam menyebut umat Hindu juga sebagai ahli kitab, oleh sebab itu ia harus ditolelir dalam setiap mengambil keputusan. Demikian juga ternyata al-Qur’an secara eksplisit juga menyebut orang beriman (Muslim) Yahudi, Nasrani dan dan Sabiin, sebagai setara.
Teks paling eksplisit tentang kesetaraah kaum beriman (dengan caranya masing-masing) dapat dikitip sebagai berikut: “Sesungguhnya orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, orang Nasrani, orang Sabiin, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir dan mengerjakan perbuatan maslahat, maka bagi mereka aka nada balasan yang baik pula, dan kepada mereka tidak perlu takut dan bersedih hati”.
Memaknai ayat sebagai mana dikutip di atas, seorang sufi besar ‘Ain al-Qudat al-Hamadhani (w.1125 M), berujar dengan amat tegas “….. Wahai kawan: jika engkau melihat Nabi Isa seperti menampak pada umat Nasrani, jadilah seorang Nasrani. Dan jika engkau melihat penampakan Musa sebagaimana orang Yahudi melihat penampakkannya, maka jadilah engkau orang Yahudi. Akan tetapi di luar itu, jika engkau melihat dalam penyembahan berhala apa yang dilihat penyembah berhala, jadilah seorang pemuja berhala, Tujuh puluh dua sekte semuanya merupakan terminal di jalan menuju Allah….”.
Akar teologi toleransi ketiga, dijelaskan dalam al-Qur’an surat an Nahl 125 “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pelajaran yang baik dan berargumentasilah dengan cara yang baik pula (mujadalah billati hiya ahsan). Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui dari pada engkau (Muhammad) tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk”. Al-Baidawi dalam Anwan al-Tanzil menjelaskan ayat ini, bahwa kewajiban Muhammad dan pengikutnya tidak lebih sebagai penyampai (mubalig) dan menyeru (Dakwah).
Lebih jauh al-Baidawi mengaitkan ayat di atas dengan QS. 2:272, “Bukan tugasmu (Muhammad) member petunjuk kepada mereka, akan tetapi Allah yang member petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya”. Semua ini menegaskan bahwa seharusnya seorang Muslim tidak perlu merasa menjadi hakim penentu untuk kemudian menjudge orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Dengan kata lain harus ada kerendahan hati bagi setiap Muslim untuk menyerahkan pengadilan hanya kepada Allah. Inilah kemudian yang dikenal sebagai kepasrahan sejatikepada Allah (berIslam).
Sehubungan dengan kepasrahan total kepada Allah terkait siapa yang beragama yang benar dan yang tidak, Jalal al-din ar-Rumi dalam epiknya yang terkenal Matsnawi, menceritakan bagaimana Tuhan marah dengan Nabi Musa ketika ia mencela pengembala memahami Allah yang dapat diringkas sebagai berikut: “Ketika Musa berjumpa dengan penggembala dalam perjalanan, penggembala itu berujar---- Hai Tuhan yang memilih yang dikehendaki, Dimana Engkau, agar aku dapat menjadi pelayan-Mu, menjahit sepatu-Mu, menyisir rambut-Mu, membuang kutu dan memberi-Mu susu hai pujaan. Mendengar kata itu Musa sontak murka dan berkata engkau bukan lagi orang beriman, tetapi engkau sudah kafir, untaian katamu telah mengubah jubah sutera agama menjadi kain lusuh”.
Mendengar kemurkaan Musa kepada sang penggembala, Allah segera memarahi Musa dengan firman “ Allah menurunkan wahyu kepadamu Musa, engkau telah memisahkan hamba-Ku dari-Ku, engkau datang sebagai seorang Nabi untuk menyatukan, atau memutuskan hubungan? Jangan sekali-kali meletakkan kaki pada jalan yang akan memisahkan, yang paling Aku benci adalah perpisahan. Aku telah menganugerahkan kepada setiap orang cara memuja. Dan aku berikan kepada setiap orang satu bentuk pengungkapan. Tindakannya bernilai pujian, sementara tindakanmu adalah kesalahan, dia madu; kamu racun. Musa!Aku terbebas dari semua kesucian dan ketidaksucian, dari segala kelambanan dan ketangkasan. Aku tidak mewajibkan ibadah agar Aku mendapatkan laba, melainkan agar Aku dapat berbuat keramahan kepada hamba-Ku. Di kalangan Hidustan, ada ungkapan Hindustanlah yang terbaik, di kalangan Sind, Sind-lah yang terbaik.-------Musa! Aku tidak memandang lidah dan ucapan, Aku melihat ke dalam ruh dan keadaan, Aku melongok ke hati, apakah ia rendah, walaupun kata-kata yang keluar rendah. Karena hati adalah substansi, ucapan hanyalah penampakan; penampakan adalah cara, substansi adalah tujuan”.
Kutipan panjang ini menegaskan hanyalah milik Allah untuk menentukan suatu keyakinan sebagai salah/keliru atau benar. Keterbatasan ruang dan waktu, tidak memungkinkan seorang bisa mengetahui hakekat sebuah kebenaran (al-haq al tajjali). Hakekat kebenaran hanyalah Allah yang mengetahui. Maka sikap yang rendah hati ketika melihat perbedaan pandangan, konsep dan pemahaman adalah berungkap dengan “Allahu’lam bisawab” sembari tidak mengklaim bahwa dirinyalah yang maha benar dan yang lain sesat atau keliru.
Mengakhiri bagian ini dan untuk melanjutkan sesi tulisan berikutnya saya akan kutip ayat penting untuk membumikan kembali toleransi dalam Islam yang akhir-akhir ini terbajak oleh para ekstrimis Muslim sebagai berikut :” Janganlah engkau nista mereka yang berdoa kepada selain Allah, karena nanti mereka akan menista Allah melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami buat bagi setiap golongan menganggap baik perbuatan mereka sendiri, kemudan kepada Tuhan jugalah mereka kembali. Ketika itu diberitahukan kepada mereka apa yang mereka perbuat”. (QS. 6:108)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H