Aku mencintaimu saat umurku berada pada angka limabelas. Saat itu, aku mengira kamu akan sama seperti yang sudah, tergerus oleh putaran waktu. Tidak akan ada rasa yang tersisa setelahnya. Orang-orang bilang jenis cinta kita cinta monyet, kamu tahu? cinta yang tidak berhak ada dalam kesejatian. Aku menikmati saja kebersamaan kita kala itu, indah sekali, aku bahkan mau menukar ratusan koleksi penghapusku untuk mengulangnya.
Ternyata kamu lebih istimewa dari yang aku pikirkan. Rasa yang kamu bentuk mampu bertahan dalam hitungan tahun, tumbuh bersamaku dalam setiap jenjangnya. Hingga sekarang aku hampir duapuluh tahun, rasa akanmu kokoh, seperti akar pohon beringin. Mencintaimu, kali ini, seperti sebuah kewajiban yang menyenangkan. aku kagum, bagaimana helai demi helai kenangan kamu berikan membuatku tidak mampu untuk bergerak. Apa mereka menyebutnya? stuck on you? yeah, kinda like that.
Kamu singgah, beberapa saat setelahnya kamu kembali pergi kemudian kamu singgah lagi hingga aku bisa saja menemuimu pada setiap satuan waktu yang berputar. Lalu kamu pergi lagi, berkelana, terlalu jauh untuk aku gapai kembali. Saat kamu kembali, aku tahu kita sudah terlalu berbeda. Tidak ada yang harus disalahkan, tidak pula rasa yang makin meletup dengan kehadiranmu atau kupu-kupu dalam perut yang semakin riuh berterbangan karena hadirmu. Tidak apa, bukankah Dia sudah mengatakan bahwa perbedaan memang untuk saling mengisi? aku masih mencintaimu, tambahkan kata 'sangat' setelahnya.
tapi kamu sendiri yang mengatakan bahwa mungkin kita bukan sepasang individu pada satu takdir yang sama. Kali ini bukankah seharusnya aku merelakan kamu? Aku yang akan pergi, dengan lembaran kenangan dalam memoriku, tentangmu, tentang kita. Aku boleh menegaskan sekali lagi? aku masih mencintaimu, lima tahun ini rasa terhadapmu makin membuncah. Gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H