Kami berpapasan tidak sengaja kemarin, sewaktu aku hendak memetik daun dhadhap di pekarangan sebelah timur rumah Nini Carem. Baru saja kakiku menginjak halaman depan, pintu depan terbuka. Dheg! Aku kaget, berhenti dan termangu. Perempuan yang keluar dari dalam rumah Nini Carem itu nyatanya masih sanggup membuat jantungku dheg-dhegan. Siti!
Aku berhenti, Siti juga. Berpandangan sekejapan sambil diam. Aku masih memandanginya ketika Siti mulai menundukkan kepalanya. Entah karena sungkan atau memang karena tak mau beradu mata. Meski sekejap, sekilas terlihat srengat di wajahnya. Sepertinya Siti masih menyimpan semua yang sudah lewat. Mungkin tak semuanya hilang dari hatinya. Menunduknya itu barangkali ingin menyembunyikan kegugupan hati yang terpancar dari sorot matanya.
Mendapati Siti yang diam dan tak lekas beranjak, aku berani menduga kalau dia sungkan dan bingung. Sungkan mau berlalu tanpa menyapa bagaimana, mau menyapa ya bingung bagaimana memulainya. Karenanya aku yang membuka percakapan. Sambil menghampirinya.
"Kamu? Sengaja kesini? Sudah lama?"
Siti hanya mengangguk. Masih menunduk.
"Sedang sehat-sehat saja kan semuanya? Suruh mbregodog siapa? Mboke apa bapak? Atau malah kamu?" aku bertanya lagi. Nini Carem memang sering dimintai tolong untuk mbregodog oleh orang sekitar sini.
"Mboke." Jawabnya singkat dan pelan sekali. Nyaris tak terdengar.
"Tidak sedang sakit, kan? Aku lama tak lewat ke atas sana.”
"Nggak. Cuma kepingin dipijat seperti biasa."
Aku bingung mau tanya apalagi. Memang sama sekali tak mengira akan bertemu Siti. Aku diam Siti juga. Cukup lama kami berdua mematung. Gadis hitam manis yang masih menunduk itu tak tahu kalau aku kemudian memperhatikan dirinya.
***