Mohon tunggu...
Ki Ali
Ki Ali Mohon Tunggu... wiraswasta -

percayalah, jangan terlalu percaya. apalagi kepada saya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sudah Sampai Apa Hidupmu Sekarang..

14 November 2010   15:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seseorang bertanya: sudah sampai apa hidupmu sekarang?

Mampukah tuan-tuan menjawabnya dan secara meyakinkan pula?

Saya akan sedikit menghasut tuan-tuan sebentar.

Begini....

Orang-orang yang riuh di jalanan seringkali menghardik kita dengan pertanyaan dan kemudian diikiuti jawaban yang lalu mereka perbandingkan sendiri. Perbandingan, karena yang terjadi kemudian adalah mengukur seberapa layak orang lain memandang anda sebagai orang yang melewati waktu secara tak sia-sia. Seseorang telah menjadi anu, punya ini itu, sementara beberapa kawan sebayanya atau sepermainannya semasih kanak, masih dan barangkali memang hanya mampu mengagumi keinginan dan mimpinya. Perbandingan ini diwariskan secara kolosal dan memang telah memacu dan memicu pergerakan juga pergeseran manusia dari titik asalnya ke titik-titik terjauh sebatas yang mampu dijangkaunya. Beberapa dikisahkan dengan banyak pujian. Beberapa yang lain terus diharapkan. Dan banyak sekali "beberapa" yang tak akan pernah dikisahkan. Kegagalan memang tak patut dibanggakan.

Pertanyaan di awal tulisan ini seringkali bersambut gelak tawa dari mereka-mereka yang menganggap dunia dan kehidupannya telah terlalu berpihak kepada materialisme dan, karenanya, tentu saja hedonis. Sementara bagi mereka yang ditertawakan oleh kelompok ini sebagai golongan kepala-kepala kosong akan menjawabnya dengan segera menghitung: satu dua tiga....hingga sekian jumlah barang yang dapat dianggap sebagai harta sekaligus dapat diuangkan.

Kelompok yang bergelak tawa, pada kenyataannya, memang lebih banyak yang tak berharta, bukan semata-mata karena harta dan pesonanya bukan sesuatu yang mereka impikan, tapi lebih karena memang mereka tak terlalu menyesal ketika tak mampu meraihnya. Filsafat dan cara memandang dunia, yang memang tak ditujukan kepada semua orang, kerap kali menjadi "x" yang dibangga-banggakan.  Kebanyakan orang tak mampu memahami kelompok ini dan itulah yang memang menjadi pembedanya.

Kelompok yang kedua lebih matematis, pragmatis dan, sejujurnya, adalah penggerak peradaban dunia berikut kemewahan dan akibat-akibatnya. Segala sesuatu haruslah terukur, terkontrol, dan pada akhirnya tercapai dan terkuasai. Apapun dan bagaimanapun. Karena menghitung adalah pekerjaan membuat jarak maka adalah kewajaran yang tak perlu dibesar-besarkan jika golongan ini memang menjadikan jarak sebagai alasan sekaligus propaganda untuk menggerakan orang riuh bergerak dan bergeser dari titik asalnya menuju kemana saja sepanjang yang dituju adalah sesuatu yang diandaikan menjadikannya berjarak dari titik asalnya. Dan jarak yang dimaksud di sini adalah jarak kebendaan, harta benda. Sesuatu yang dapat dinilai dengan uang! Pekerjaan dan jabatan tak lagi menjadi penentu, begitulah memang yang terjadi, karena ternyata sekarang telah terbukti: kuantitas harta tak selalu identik dengan tinggi rendahnya suatu kasta pekerjaan dan jabatan. (tentu saja tidak bermaksud menempatkan korupsi sebagai setan yang berkhianat, sekalipun memang berita koran adalah sesuatu yang tidak mudah untuk tidak dipercaya. Beberapa variabel lain pastilah diabaikan)

Tentu saja mereka yang suka menertawakan dunia haruslah berterima kasih kepada kelompok yang, karena pragmatisnya, telah menghasilkan kemajuan-kemajuan dan fasilitas-fasilitas seperti yang kemudian juga ikut dimanfaatkan oleh kelompok yang mengagulkan kesombongan dalam berpikir sambil tertawa. Meskipun pada kenyataanya rasa terima kasih itu seringkali disampaikan dalam bentuk-bentuk yang dianggap sendiri oleh mereka sebagai kesenian atau sastra--sehingga dengan itu mereka seolah sedang menyembunyikan rasa kagum kepada dunia materialis-hedonis--ungkapan-ungkapan mereka seringkali diyakinkan sebagai dakwah moral yang untuk itulah mereka ada.

Menjawab suatu pertanyaan adalah pekerjaan menghindar dari kebodohan yang dituduhkan. Jika kebodohan disejajarkan dengan ketakberpikiran, maka mempertanyakan pertanyaan adalah cara terbaik untuk berkelit dari sebuah tuduhan.

Pertanyaan pembuka tulisan adalah tentang "apa" yang mungkin dapat disandingkan dengan "hidupmu". Kata "sampai" malah dapat dimaknai sebagai ketaksengajaan, sesuatu yang tak harus sebagai "pencapaian". Adapun "sudah" dan "sekarang" dapat saja dilibatkan dan dapat pula diabaikan. Sebuah pertanyaan yang terbuka memang dan karena itulah saya menyukainya. Dan "apa" di sini dapat dipersepsikan secara sewenang-wenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun