Mohon tunggu...
Ki Ali
Ki Ali Mohon Tunggu... wiraswasta -

percayalah, jangan terlalu percaya. apalagi kepada saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebungkus Rokok di Minggu Pagi

15 Mei 2012   16:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:15 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seperti Minggu kemarin dan seperti juga entah berapa puluh minggu pagi yang lalu-lalu, pagi ini pun di meja ada sebungkus rokok yang dapat kuambil jika kembali mengalahkan Sakram bermain catur, selainngopi gratis tentunya. Tantangan itu pasti timbul dari rasa penasarannya yang tak pernah menang dariku. Mungkin sebagai guru dia ingin sekali-kali menang, tidak selalu kalah dan terkesan bodoh. Padahal Sakram adalah guru Bahasa Indonesia dan mestinya memang tidak harus pintar bermain catur. Pintar mengajar dan membuat murid-muridnya lebih pintar darinya, itulah yang kukira harus menjadi rasa penasarannya. Tapi mungkin saja sebungkus rokok tidaklah ada artinya bagi guru PNS macam Sakram, bukankah gaji bulanannya sangat besar?

"Ayo jalan!" Sakram menegurku.

Kuda ke g5. Rupanya Sakram mengambil kesempatan dan langsung menyerang. Posisi kedua Kudaku di c6 dan f6 itu memang tak akan sanggup melindungi bidak f7 yang diincarnya, entah nanti dengan Gajah c4-nya atau dengan Kudanya itu. Permainan Italia yang taktis. Melindungi bidak f7 dengan Menteri hanya akan membuat Kudanya leluasa memukul Bentengku dan itu jelas bukan pertukaran yang seimbang. Jadi aku dipaksa untuk memajukan bidak ke d5 dan itu akan membuatnya terus menyerang.

“Jangan menggertak!” seruku sambil melangkahkan bidak.

“Sikat!” Benar saja, bidak e4-nya langsung memukul bidak d5 sekaligus mengancam Kuda c6.

Tapi aku sudah siap dan tahu kemana Kuda harus lari. Meskipun Kudaku bisa saja ke a5 dan mengancam Gajahnya, tapi aku tahu Kuda di pinggir adalah lemah secara posisi.

“Tidak boleh!” seruku. Pilihan realistis adalah Kuda ke d4.

Posisi Kudaku di tengah itu memang belum punya daya serang, jadi Sakram tak memperdulikan. Dia malah terus dengan rencananya. Bidaknya didorong ke d6 sambil menyeringai, “Mau apa Kuda ke situ?”

Kembali bidak f7 terancam dan itu membuka jalan bagi Kudanya untuk lebih agresif. Memukul bidak d6 dengan bidak c7 hanya akan menunda ancaman. Maka kupukul saja bidak itu dengan Menteri. Sekarang Sakram tinggal pilih; memukul bidak f7 dan skak sekaligus memaksa Rajaku tak dapat melakukan rokade, atau menukar Kuda dengan Bentengku.

Benteng kan lumayan,” seru Sakram memukulkan kudanya ke bidak f7, mengancam Benteng dan Menteri sekaligus.

Aku terkekeh kecil meskipun tentu saja aku tak mau kehilangan Menteri. Sambil menggeser Menteri ke c6 kuambil rokok sambil menirukan gayanya Tuk Dalang, “Terima kasih, lah..”

Sakram mengernyitkan jidatnya sebelum akhirnya malah ditepuknya sendiri. “Aduh!”

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun