Mohon tunggu...
Ki Ali
Ki Ali Mohon Tunggu... wiraswasta -

percayalah, jangan terlalu percaya. apalagi kepada saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demi Majapahit Yang Agung

2 Juni 2012   09:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:29 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Demi Majapahit Yang Agung

oleh Ki Ali JN

Malam sudah tuntas ketika orang yang berjalan perlahan itu sampai di depan Pasar Daksina yang mulai sibuk. Membaur di antara keramaian lalu lalang orang keluar masuk pasar, sekilas ia nampak seperti pengunjung pasar lainnya. Sejenak ia berhenti dan sekejap kemudian membelokkan langkahnya ke deretan pohon sonokeling di sisi timur pasar. Seseorang telah menunggu kedatangannya.

“Kau terlambat, Sungging. Berhasilkah tugasmu?” Orang yang menunggunya itu langsung menyambutnya dengan pertanyaan. Seorang laki-laki yang belum terlalu tua dengan kain menyelempang di bahunya.

“Apakah harus kujawab juga, Paman? Bukankah aku sudah di sini sekarang?” Orang yang dipanggil Sungging itu balas bertanya.

“Haha…kau tentu tahu apa yang kubutuhkan, Sungging. Duduklah. Aku akan mendengarkan.”

Kokok ayam terdengar bersahutan dan keremangan mengambang di kilap daun-daun sonokeling yang tertimpa lesatan larik-larik sinar matahari yang menerobos tirai merah kekuningan di langit timur. Laki-laki yang dipanggil Sungging itu menurut dan duduk menyebelahi orang yang dipanggilnya Paman. Dan mulailah ia bercerita.

***

Aku tak pernah menyangka akan datang malam seperti halnya malam ini. Malam yang kulewatkan dengan mencuri, menjadi maling! Tapi bukan itu yang kusesalkan. Yang kusesalkan adalah terkuaknya sebuah rahasia bahwa masih ada keturunan Pelukis Gila dan kini telah muncul kembali ke dunia persilatan!

Memasuki keraton Majapahit sebagai maling tentulah menjadikan jantungku berdesiran. Bukan karena khawatir diketahui apalagi tertangkap. Bagiku prajurit-prajurit jaga yang bertebaran di antero keraton bukanlah penghalang yang berarti. Mengandalkan kecepatanku berkelebat kiranya tak akan tertangkap mata dan telinga mereka. Para bhayangkara keraton yang mestinya harus kuperhitungkan rupanya benar-benar sibuk dengan pengejaran atas prajurit Pakuan Sunda yang diketahui lolos dari lapangan Bubat itu. Kau jelaskan nanti kepadaku Paman, mengapa prajurit Sunda itu harus dibunuh juga? Tak cukupkah pembantaian di Bubat itu?

Adalah kenyataan bahwa malam ini diriku menjadi maling yang membuatku sedikit tak nyaman dalam berkelebat dari wuwungan satu ke wuwungan lainnya. Begitulah, meskipun sedikit gugup, dengan mengikuti arahan Paman akhirnya sampai juga aku di wuwungan gedung pusaka keraton tepat ketika malam mulai lingsir. Dan itulah saat pergantian regu prajurit penjaga gedung pusaka. Ketika mereka sibuk berupacara keprajuritan, saat itulah aku meluncur turun masuk ke dalam gedung setelah sebelumnya kusibak sedikit bagian wuwungan yang tergelap dan tak terjangkau oleh pancaran terang obor-obor di halaman gedung.

Aku bersigegas. Tanpa suara kuperiksa semua yang disimpan dalam gedung itu. Tak butuh waktu lama, kutemukan juga yang kucari. Sebuah kotak kayu dengan sebuah gulungan kain di dalamnya. Masih dengan dada berdegupan, kuambil gulungan itu dan menyimpannya dalam lempitan kain yang kubebatkan di pingganggku. Segera aku melenting ke wuwungan dan kudapati suasana masih seperti sebelumnya. Tenang dan di bawah sana prajurit-prajurit jaga yang baru nampak berdiri gagah, tanpa tahu gedung yang dijaganya itu kusatroni. Tak membuang waktu aku segera melenting, kembali berkelebat dari wuwungan satu ke wuwungan lainnya menuju arah keluar keraton.

Menghindari penjagaan di gerbang Purawaktra, aku memilih melompati tembok tinggi di bagian yang tak terkena pancaran terang obor, cukup jauh dari gerbang besi itu. Dari sana aku terus berkelebat dari pohon bramastana yang satu ke pohon bramastana lainnya, lalu masuk ke pemukiman penduduk. Seperti Paman perintahkan, aku harus memasuki Pasar Daksina dari arah selatan. Itu artinya aku harus terus ke arah barat melintasi pemukiman penduduk dan masuk ke hutan kecil dibelakangnya untuk kemudian berbelok memutar menuju arah selatan Pasar Daksina.

Tapi belum lagi aku keluar dari pemukiman penduduk, dari jauh kulihat sebuah pertempuran sedang berlangsung. Aku tertarik dan ingin mendekat sekedar untuk melihat siapa yang bertarung. Lewat pancaran terang obor-obor rumah penduduk, kulihat jelas seorang perempuan tengah kepayahan menangkis dan menghindari serangan musuhnya, seorang laki-laki. Sebatang golok berkilauan kulihat tergeletak di tanah tak jauh dari dari mereka. Dan ketika telah cukup dekat dengan pertempuran itu, kulihat ternyata laki-laki itu tubuh atasnya mengenakan pakaian dan ada sulaman gambar burung Garuda mengepakkan sayap di bagian dada sebelah kiri. Bhayangkara Biru! Dan sekilas kulihat pula jenggotnya yang kasar. Bhagawan Buriswara!

Begitulah. Saat itu kulihat Bhagawan Buriswara sudah mampu mendesak musuhnya dengan serangkaian tendangan beruntun dan dibarengi tamparan-tamparan tangannya. Gerakannya mantap dan penuh tenaga. Cepat sekali, sangat-sangat cepat. Dari getaran angin yang berkesiuran dapat kurasakan betapa tenaga dalam yang melambari tamparan-tamparan itu sangatlah berbahaya jika sampai menemukan sasarannya.

Perempuan musuhnya, yang sekilas kulihat berparas cantik dengan dagu yang begitu nyanin, terlihat sibuk sekali mengelak dan menangkis. Lewat pancaran terang obor sempat kulihat matanya berkilatan. Sesekali kudengar keluhan kecil dari bibirnya yang tipis. Jika kedua kakinya sibuk mengatur langkah mundur menghindari tendangan, adalah kedua tangannya terus bergerak menangkisi tamparan-tamparan yang mengarah ke dadanya! Dada yang telanjang! Nampaknya meskipun Bhagawan Buriswara ingin menghabisi musuhnya, ia juga ingin bermain-main dengan keelokan tubuh di hadapannya. Tamparan-tamparannya dilambari tenaga dalam, tapi juga sekaligus ingin mempermalukan musuhnya.

Kulihat memang tubuh perempuan yang terdesak itu benar-benar sempurna. Tingginya sedang, badannya sintal dengan perut yang ramping. Kecantikan wajahnya nampak serasi dengan dagu yang nyanin, dan terlebih kedua payudara yang melingkar kecil, tak terlalu kecil sebenarnya, di dadanya. Mungkin karena ukurannya yang pas dan kokoh kencang di tempatnya, kedua buah dada itu nampaknya tidaklah menjadi penghalang bagi pemiliknya ketika harus bergerak-gerak menghindari serangan lawan.

Tapi sekarang kedua buah dada itulah yang diincar oleh Bhagawan Buriswara. Dan dunia persilatan tahu belaka Bhagawan Buriswara adalah pemimpin Bhayangkara Biru, dan pastilah jauh lebih kosen dari para anak buahnya. Menempur Bhagawan Buriswara sama artinya mencari mati.

Dan benar juga. Dengan sebuah gerak tipu yang lihay dan cepat, cepat sekali, tamparan kedua tangan Bhagawan Buriswara secara beruntun mampu menemukan sasaranya.

“Plak! Plak! Plak! Plak!” masing-masing buah dada itu terkena tamparan dua kali.

Kedua tamparan itu mengarah ke dalam, jadi ketika tamparan pertama lepas dari buah dada yang satu ia diteruskan ke buah dada di sampingnya. Dan buah dada perempuan adalah salah satu anggota tubuh yang sangat peka dan rentan terhadap sentuhan, apalagi tamparan dari Bhagawan Buriswara yang menggunakan tenaga dalam. Dapat dibayangkan akibatnya.

“Ugh!” Hanya itu yang sempat terlontar dari bibir perempuan itu. Kejap berikutnya dia limbung ke belakang, lalu ambruk menggelosoh di tanah.

Bhagawan Buriswara tak meneruskan serangannya. Rupanya musuhnya itu pingsan. Pemimpin Bhayangkara Biru itu malah melangkah dan memungut golok yang tergeletak tak jauh dari tubuh musuhnya. Terkena pancaran terang obor, golok itu berkilauan. Berbalik menghadap tubuh yang tak berkutik itu, Bhagawan Buriswara meraba jenggotnya yang kasar sambil bergumam puas. “Mengapa kau berkhianat, Ayu Ningrum? Kau tahu hukuman untuk seorang pengkhianat adalah kematian. Mengingat jasamu selama ini, biarlah kusempurnakan kematianmu. Golokmu sendiri yang akan mengantarmu ke neraka!”

Aku terkesiap mendengar nama itu. Ayu Ningrum! Bukankah Ayu Ningrum adalah anggota Bhayangkara Biru? Mengapa ia tak mengenakan pakaian bersulam gambar burung Garuda seperti anggota Bhayangkara Biru lainnya? Dan Bhagawan Buriswara menyebutnya sebagai pengkhianat? Tapi aku tak sempat berpikir dan menduga-duga. Saat itu kulihat Bhagawan Buriswara sudah melangkah dan mengayunkan golok untuk menghabisi musuhnya. Saat itu pula sudah kuputuskan apa yang harus kulakukan.

Aku tertawa pelan dan sengaja menggemakannya melingkupi suasana. Dan rupanya itu berhasil. Terkejut mendengar suara tawa yang menggema, Bhagawan Buriswara menghentikan gerakannya dan mencari arah suara. Tapi itu percuma. Ilmu Memindahkan Suara memang hal yang lumrah di dunia persilatan, dan mungkin sekali Bhagawan Buriswara juga menguasai ilmu macam itu. Tapi yang kubutuhkan memang sekedar menunda gerakannya dan itu cukuplah bagiku beraksi pada kejap berikutnya. Benar-benar sekejapan saja.

Aku melesat cepat, sangat-sangat cepat dan jauh lebih cepat dari kecepatan gerak tipu yang digunakan Bhagawan Buriswara saat menampar buah dada musuhnya tadi. Sedemikian cepatnya hingga yang tampak terlihat oleh Bhagawan Buriswara adalah datangnya sembilan bayangan yang menyerbunya. Dua bayangan dari arah depan-belakang-kanan-kiri, dan satu dari atas. Dan kejap berikutnya aku sudah memasuki hutan di belakang pemukiman penduduk dengan perempuan Ayu Ningrum dipundakku setelah sebelumnya kurampas golok dari tangan Bhagawan Buriswara. Dan untuk menghibur Bhagawan Buriswara, sengaja aku meliuk-liuk di hutan itu dengan tawa yang masih menggema sambil kuhadiahkan daun-daun yang bergoyang dan rumput-rumput yang tersibak di semua penjuru. Jikapun ia berani mengejarku, kupastikan ia akan menyumpah-nyumpah tak mampu mengira ke arah mana aku membawa Ayu Ningrum.

***

Jalanan sudah ramai oleh orang melintas. Terang kebiruan sudah mulai membayang di langit timur. Orang yang dipanggil Paman itu membetulkan kain yang menyelempang di pundaknya. Dari mulutnya terdengar gumam yang pelan.

“Bhagawan Buriswara memang bukanlah tandinganmu. Yang kutahu, yang setingkat dengan pewaris Pelukis hanyalah Mahapatih Gajah Mada sendiri, sebagai pewaris dari Penjaga Gunung Kampud. Hanya saja kalian berdua telah disumpah untuk tak saling menempur. Tapi kau punya dua masalah bagimu sendiri, Sungging. Pertama, kau katakan tadi terungkapnya rahasia bahwa masih ada keturunan Pelukis Gila dan kini telah muncul kembali ke dunia persilatan. Apa yang kaulakukan hingga rahasia itu bisa terungkap?”

Orang yang dipanggil Sungging tersenyum. “Aku mengulaskan jelaga di pipi kiri Bhagawan Buriswara. Sebuah gambar babi.”

“Hmm. Memang hanya Pelukis Gila yang mampu menggambari tubuh musuhnya. Lalu masalahmu yang kedua, di mana sekarang Ayu Ningrum?”

“Di rumahmu, Paman. Tolong ijinkan aku merawatnya di rumahmu, Paman. Aku kasihan kepadanya.”

“Kau benar-benar mencari masalah. Tapi baiklah. Kuanggap itu sebagai imbalan untuk tugas yang kuberikan. Di mana barangnya?”

“Tenang saja, Paman. Telah kusimpan sesuai perintah Paman. Tapi seperti kukatakan sebelumnya, tolong jelaskan, Paman. Mengapa prajurit Sunda yang lolos itu harus dibunuh juga? Tak cukupkah pembantaian di Bubat itu? Dan mengapa juga Paman memintaku untuk mencuri lukisan itu?”

“Haha..rupanya kau masih penasaran ya? Baiklah. Dengarkan ceritaku.”

***

Adalah karena adanya lukisan Dyah Pitaloka Citraresmi, Sri Baginda Hayam Wuruk Sang Rajasanegara terpikat dan gandrung kepada Putri Pakuan Sunda itu. Beliau berkenan hendak mempersuntingnya menjadi permaisuri Majapahit. Hanya sayang, ambisi politik Mahapatih Gajah Mada telah menyebabkan pecahnya peristiwa di Bubat itu. Kedukaan Sang Prabu tentulah sangat mendalam. Bukan saja karena kehilangan calon garwa padmi, tapi juga karena Pasunda itu akan menggoyang keluhuran wibawa Kerajaan Majapahit yang agung.

Seorang raja tidaklah patut larut dalam duka. Betapapun kedudukan permaisuri haruslah segera terisi agar keagungan Majapahit menjadi lengkap dan itu juga menyangkut tentang pewarisan tahta di kemudian hari. Karena itulah, agar Sang Prabu tak lagi berkesempatan mengenang keelokan paras Putri Pakuan Sunda, lukisan Dyah Pitaloka Citraresmi itu harus tak lagi berada dalam gedung pusaka keraton Majapahit. Dengan hilangnya lukisan itu, nanti akan kuusahakan timbul dugaan bahwa Para Dewa memang tak menghendaki Sang Prabu berpermaisurikan seorang Dyah Pitaloka Citraresmi. Adapun jodoh Sang Prabu nanti, biarlah itu menjadi urusan keluarga keraton.

Untuk menghilangkan lukisan itu dari gedung pusaka keraton, satu-satunya jalan hanyalah dengan mencurinya. Dan mengingat penjagaan di keraton sangatlah ketat, maka kukira orang yang mampu mencuri lukisan itu adalah kau, Sungging Prabangkara, pelukisnya sendiri. Aku percaya, keturunan Pelukis Gila mampu melakukan tugas itu. Dan buktinya, kau berhasil bukan?

Sekarang tentang prajurit Sunda yang lolos itu. Dia memang harus dilenyapkan. Meskipun Bhayangkara Biru pastilah akan mengejarnya sampai ketemu, tapi aku tahu ada yang membantu prajurit itu lolos dari Kotaraja. Dan meskipun aku tak tahu siapa pihak yang membantu itu, jika dia berani menempuh resiko berhadapan dengan Bhayangkara Biru maka dapat dipastikan pihak yang membantu itu tentulah orang-orang dari dunia persilatan. Apa tujuannya membantu prajurit itu lolos, bagiku tidaklah penting. Yang penting adalah prajurit itu tak boleh selamat dan sampai ke Pakuan Sunda. Prajurit itu harus lenyap, mati.

Kau mungkin heran, mengapa pamanmu ini menginginkan hal itu. Semua demi Majapahit. Pakuan Sunda tak boleh mendengar berita peristiwa Bubat dari mulut prajuritnya sendiri. Ambisi politik Mahapatih Gajah Mada boleh jadi telah dijalankan dengan salah oleh para pembantunya, terutama Bhayangkara Biru itu. Tapi keagungan Majapahit harus tetap dijaga dan ditegakkan. Akan kuusahakan untuk meminta Sang Prabu mengirim duta ke Pakuan Sunda sebagai utusan resmi untuk mengabarkan peristiwa Bubat sekaligus menyatakan bahwa negara Majapahit sungguh-sungguh berduka dan prihatin atas peristiwa di Bubat.

Tapi untuk itu tak boleh lagi ada prajurit Sunda sebagai saksi atas peristiwa itu. Kesaksian dari pihak Sunda akan sangat menyulitkan upaya perdamaian yang nanti diusahakan oleh Majapahit. Kau pun maklum bahwa dalam peristiwa Bubat itu, tindakan Bhayangkara Biru benar-benar mencoreng keluhuran Majapahit. Meskipun ini terlihat seperti menutupi kesalahan Bhayangkara Biru, tapi menjaga keagungan keluhuran Kerajaan  Majapahit yang agung jauh lebih penting dari sekedar persoalan Bhayangkara Biru. Mereka, Bhayangkara Biru, aku yakin akan tumpas juga seiring dengan jatuhnya pamor Mahapatih Gajah Mada akibat peristiwa Bubat itu.

Dan untuk memastikan prajurit Sunda itu tak pernah sampai pulang ke negaranya, hanya satu orang yang kupercaya mampu melakukannya. Kau!

***

Sungging Prabangkara lama terdiam. Pandangannya dialihkan ke langit barat. Terkenang perjalanannya ke barat beberapa tahun lalu. Ikut sebagai kelompok juru lukis dalam rombongan utusan persahabatan Majapahit ke Pakuan Sunda, secara rahasia dia menggambar jalan-jalan, benteng-benteng, istana raja, pasar dan juga letak gunung-gunung, sungai-sungai, hutan-hutan dan sawah-sawah serta pertapaan-pertapaan dan tempat-tempat pemujaan. Semuanya. Sejak melintasi kaki pegunungan Indrakila, rombongan utusan itu sengaja berjalan pelan agar dia dan juru lukis lainnya mampu menangkap keadaan alam dan melukiskannya dalam gambar-gambar yang kelak akan digunakan sebagai pedoman jalan penyerbuan Pakuan Sunda jika mereka tak juga mau menakluk dan mengakui keagungan Majapahit sebagai kerajaan terbesar di Nusantara.

Ketika rombongan utusan itu tiba di istana Pakuan Sunda, mereka mendapat sambutan yang hangat. Sebulan lamanya mereka tinggal di sana. Adalah karena dia seorang seniman, maka disempatkannya juga bergaul dengan para seniman di kotaraja Pakuan itu. Dan ternyata Putri Pakuan Sunda, Sang Ayu Dyah Pitaloka sendiri adalah seorang seniman tari yang hebat. Maka berkesempatanlah mereka berkenalan dan saling bertukar pandangan tentang dunia seni. Sang Putri mengagumi lukisan dan cara Sungging Prabangkara melukis. Sungging Prabangkara mengagumi kecantikan dan keindahan gerak Sang Putri ketika menari.

Dan tanpa setahu Sang Putri, setiap kali Sang Putri menari di hadapannya, diingatnyalah betul-betul tubuh dan gerak Sang Putri. Semuanya. Kakinya yang langsat terlihat kecil dan nampak rapuh lemah bila melangkah. Jemari lentik dari tangan yang gemulai ketika mengimbangi meliuknya tubuh yang ramping dan nampak gemilang dalam pancaran terang sinar obor. Wajah yang elok laksana bulan, di bawah alis yang tebal ada mata yang redup namun tajam ketika melempar lirikan. Hidung kecil meruncing di atas bibir yang selalu basah oleh senyuman. Kepalanya terlindung oleh mahkota dari emas dan dari dalam mahkota itu menjuntai rambut ireng menges halus dan jatuh melewati bahu. Lehernya jenjang dilingkari oleh untaian kalung emas permata yang memanjang kebawah dan membentuk lingkaran-lingkaran kecil mengelilingi kedua buah dada yang sekal dan tegak menghadap ke depan. Jika sedang menari, keredepan pancaran terang obor membuat kedua buah dada itu nampak begitu gemilang.

Semuanya dilihat dan semuanya diingat. Sepulangnya ke Majapahit, dibuatnyalah lukisan itu dan diserahkannya kepada pemimpin kelompok juru lukis untuk dipersembahkan sebagai tanda bhakti kepada Sang Prabu. Dan lukisan yang dibuat oleh keturunan Pelukis Gila memang luar biasa. Sang Prabu terpikat dan karena gandrung lalu disampaikanlah pinangan resmi dari kerajaan Majapahit ke Pakuan Sunda. Dan semua itu berakhir dengan peristiwa Bubat. Semuanya berawal dari lukisannya!

Sungging Prabangkara mendesah kecil. Telah diputuskannya untuk menerima perintah pamannya.

“Baiklah, akan kupenuhi perintah Paman. Demi Majapahit yang agung. Tapi bagaimana dengan Ayu Ningrum?”

Orang tua itu bangkit berdiri dan mengebutkan kain di bahunya sebelum berucap, “Tenanglah. Kau tak perlu mengkhawatirkannya. Apa kau lupa bahwa meskipun aku lebih menyukai susatra, aku juga tahu sedikit tentang ilmu kanuragan dan ilmu pengobatan?”

Sungging Prabangkara berdiri sedikit membungkuk kepada pamannya sambil berkata lirih, “Baiklah, aku pamit dan menitipkan Ayu Ningrum pada Paman Prapanca.”

Pagi mulai terang tanah ketika mereka berpisah.[]

_______________

Versi Basa Jawa dari cerpen ini bisa dibaca dalam cerkak yang berjudul Penyungging Kunjana karya Ki Ali JN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun