Mohon tunggu...
Nyi Ismayawati
Nyi Ismayawati Mohon Tunggu... Buruh - Urip sakmadya

Ngupaya upa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis Senja di Rumah Tua

3 Desember 2020   17:19 Diperbarui: 3 Desember 2020   17:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan baru saja reda ketika sebuah mobil SUV warna hitam berhenti di sebuah bangunan kuno namun tampak anggun. Halaman yang luas dengan pepohonan besar seperti asam, trembesi, kenari, dan mahoni menggambarkan kesejukan suasana alami rumah kuno tersebut.

"Selamat sore Suster, maaf kami terlambat karena jalan cukup macet akibat hujan seharian," kata Herman pada Suster Ria yang membukakan pintu rumah tersebut sesaat setelah Herman menekan bel pintu.

"Tak apa, kami memahami..." sambut Suster Ria sambil tersenyum pada  Nyonya Ernie, mamanya Herman yang duduk di kursi roda.

"Mama, ini Suster Ria yang akan menemani Mama selama di sini," kata Herman sambil mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah tersebut.

Setitik airmata menetes di pipi mama Herman sekali pun Suster Ria menyambut dengan senyuman gembira. Pandangan matanya sedikit kosong menatap wajah Herman yang tertunduk. Entah sedih entah bahagia yang ada di benak Herman, yang jelas Herman harus mengirim mamanya ke panti wredha demi perawatan dan kehidupan lebih baik. 

Bagi Herman kesibukan dirinya dan istrinya sebagai seorang professional menyebabkan mereka sulit merawat mamanya yang menderita komplikasi karena gaya hidup masa lalu. Sedang anak-anak mereka sungguh tak tahan dengan kecerewetan Nyonya Ernie, nenek mereka.

"Mama tak perlu sedih, setiap akhir pekan kami akan ke sini mengunjungi....." kata Herman merayu.

"Itu kata-kata Mama dulu ketika membawa Nenekmu ke sini karena kesibukan kami mengurus pabrik. Hingga ajal menjemput Nenekmu hanya beberapa kali Mama bisa mengunjungi Nenekmu...." 

Herman tertegun. Terbayang dalam pikirannya, apakah kelak ia akan dikirim ke panti wredha atau panti jompo bila anak-anaknya tak bisa merawat dirinya yang sudah renta. Setitik airmata kepiluan menetes sebelum masa itu datang pada dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun