Kuseruput kopi hitam dari gorengan jagung beraroma gula merah namun masih terasa pait dilidah lalu kusantap singkong bakar yang mulai mengeras karena dinginnya suasana sore itu. Kudekatkan tubuh sedikit ke arah perapian walau asap kayu bakar yang masih agak basah terus membuat mataku harus meneteskan airmata. Kaki, dada, dan wajahku mulai terasa hangat sedang punggungku tetap kedinginan oleh hembusan angina yang masuk dari sela-sela dinding bambu dapur yang lapuk ditelan waktu.
Kutatap Emak yang duduk di dingklik menemaniku dalam keheningan suasana senja yang temaram. Wajahnya tampak menahan lelah tiada tara karena sepanjang usia perkawinannya hanya kesendirian bersamaku yang harus dirasakan tanpa kehadiran ayah yang tiada kabar berita setelah gestok menyingkirkannya entah kemana.
Ditiupnya bara api kayu bakar yang mulai meredup dengan seruas bambu yang membuat api mulai menyala memanaskan kami berdua.
Gelapnya malam mulai mengintip hutan jati belakang rumah kami.
"Aku masih menunggu Pakdhemu...," kata Emak kala kuminta segera istirahat di pembaringan malam.
"Pakdhe Marto tak akan ke sini. Kemarin lusa rumah ini sudah kubayar menjadi milik kita."
Emak terhenyak mendengar bahwa rumah Pakdhe Marto yang kami tempati selama puluhan tahun tanpa sewa telah kubeli hasil tiga tahun memeras keringat di negeri manca.
Setitik airmata yang tak pernah kulihat di sudut mata Emak yang tegar, sekarang tampak menggambarkan kebahagiaan tak terkira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H