Tak pernah kudengar kisah keluh kesah akan lelah yang mendera tubuh setelah bersusah payah membungkuk setengah hari kerja di tengah sawah. Dinginnya lumpur tak kau rasakan sebagai sebuah derita selain anugerah yang harus kau terima untuk menerima upah.
Sesekali kau berdiri untuk sekedar meluruskan kembali punggung yang terasa kaku seperti batang bambu yang berdiri tegak penyangga rumah kita dulu. Senyum tersungging lembut kala sebaris padi telah selesai kau tanam dari seikat bibit yang kau ambil dari pinggir pematang kecil di mana aku sering duduk bila kau ajak ke sana.
Hari ini, mentari kembali ceria menyapamu untuk melangkah ke sawah berdua bersama Bik Ijah. Renta sudah ragamu ditelan waktu namun semangatmu tiada pernah musnah untuk terus bekerja. Demi sebuah kisah indah yang menjadi sejarah kehidupan yang kau ukir dalam tertulis di hati ini.
Empat jam kau harus membungkuk dan menunduk pada kuasa alam yang memberimu kehidupan tanpa desah resah walau kau ingin segera istirah untuk menikmati sesuap bekal yang kau bawah dari rumah. Â Sebotol teh setengah manis kau teguk terasa begitu segar mengalir memusnahkan dahagamu yang menyengat leher walau tanah basah mengurungmu.
Mentari sudah di atas kepala memahkotai perjuanganmu hari ini. Penat rasa raga kini musnah dengan tubuh yang menjadi basah karena guyuran air kau siramkan dari parit sempit seumpama telaga. Dan engkau pun melangkah kembali ke rumah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H