Mohon tunggu...
Nyi Ismayawati
Nyi Ismayawati Mohon Tunggu... Buruh - Urip sakmadya

Ngupaya upa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Masa yang Telah Berlalu

4 November 2020   16:06 Diperbarui: 4 November 2020   21:59 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih kuingat kala kita berjalan menyusuri tepian sungai berbatas tingginya rumpun bambu yang senantiasa melantunkan lagu sendu dari deritnya batang bambu yang bergoyang menari bersama angin.

Kicau serak burung tengkek pun selalu menemani teriakan kita kala melihat seekor ular melahap katak di pinggir sungai itu. Bahkan kedasih yang menangis pun tak kita pedulikan lagi walau orangtua bilang akan ada petaka datang.

Kita terus berjalan dan kadang berlari menuju ujung lubuk untuk mandi tanpa baju  dan rasa malu. Kau melompat dan aku menunggu untuk terjun berjumpalitan di tebing pinggir lubuk. Tak peduli mendung sudah menggantung kita terus bercengkerama dan menabuh kendang air lubuk yang menggema menelan suara gerimis yang menerpa kita.

Hanya air keruh dari udik yang mengingatkan kita akan banjir yang segera mengalir memberitahu kita untuk segera mentas dan kembali pulang.

Di rumah, Emak sudah menunggu dengan cemberut kala melihat kita tak membawa kayu bakar dari ranting kering yang seharusnya kita cari selain sebatang ranting berujung getah untuk menangkap capung.

Di pojok depan rumah, kita menunggu waktu Emak sudah lupa kesalahan kita dan menyiapkan ubi bakar yang menggoda perut kita untuk meneteskan liur lapar kita.

Tiga puluh tahun sudah semua berlalu. Bukan hanya rumpun bambu yang berganti tebing tembok beton penahan longsor tetapi juga sungai telah menyempit menjadi parit. Burung pun bernyanyi merdu dalam kesedihan di sangkar yang menggantung di dahan pohon jambu yang enggan tumbuh. Tak terdengar lagi celoteh anak-anak dusun bermain air berkecipak kecipung. Semua duduk terdiam  di balik pagar di bawah jendela menghadap si kotak kecil ajaib yang mengungkung mereka dalam dunia semu.

Tak ada lagi tertawa bersama seperti kita kala menggelitik dan mengadu jangkrik dengan kili rumput teki. Kini mereka tersenyum sendiri sambil menarikan jari jempol bukan seperti kita menarikan kuda kepang bergoyang mendengar hentakan kendang.

Semua telah berlalu kecuali kita yang menunggu waktu untuk berlalu.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun