Mohon tunggu...
RIKA KURNIAWATI
RIKA KURNIAWATI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencoba membiasakan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memperjuangkan Jurnalisme

3 Mei 2015   10:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Untuk kemanusiaan

Saya teringat akan sosok yang menginspirasi saya untuk memasuki dunia jurnalistik yaitu Andy Flores Noya. Saat itu saya duduk di kelas sebelas, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kami menugaskan kami untuk menulis profil dari tokoh yang kami kagumi. Seperti kebanyakan remaja lainnya, tentu saya juga mempunyai rasa kagum kepada para penyanyi, aktor, dan mereka yang sering muncul di televisi.

Namun saya tidak kunjung menemukan nama tokoh dari dunia hiburan yang benar-benar saya kagumi. Saya datang dari keluarga menengah. Hiburan kami sekeluarga adalah televisi dan makanan kaki lima. Banyak sekali acara yang waktu itu saya anggap menghibur, tetapi sedikit yang dapat memicu saya untuk berbuat banyak bagi orang lain, terkecuali “Kick Andy”, acara yang juga dikagumi oleh kedua orang tua saya.

Saya memutuskan untuk menulis profil seorang jurnalis yang lahir di kota Surabaya itu. Betapa malunya saya ketika teringat saya menulis profilnya hanya bersumber dari Wikipedia. Sudah hanya satu sumber, dari sumber yang tidak sepenuhnya bisa dipercaya lagi.

Beberapa kali mendapatkan nilai tertinggi di kelas untuk mata pelajaran Ekonomi, saya di anjurkan untuk masuk Falkutas Ekonomi oleh guru dan beberapa teman. Keluarga saya memang dipenuhi mereka yang mempunyai gelar Sarjana Ekonomi. Bahkan seorang paman berhasil mendapatkan jabatan cukup prestisiusdi Bank Nasional Indonesia.

Bingung, tentu. Ditentang masuk dunia jurnalistik, tentu. “Ngapain sih masuk jurnalistik?!, lihat tuh lowongan kerja di koran, semua gelar bisa masuk,” seorang kakak sepupu bergelar sarjana kedokteran seakan menganjurkan saya untuk tidak mengeyam pendidikan strata satu di bidang ilmu komunikasi dengan peminatan jurnalistik. Saat itu saya menjawab dalam hati bahwa saya ingin belajar jadi manusia. Segala ilmu dan kemampuan (selain jurnalistik) yang katanya dapat memudahkan kehidupan manusia “dijejeli”. Namun tidak bagaimana cara menjadi manusia. Bahkan di rumah ibadah yang saya datangi, saya diminta untuk memohon pada Tuhan agar diberikan kemudahan hidup, harta yang berlimpah untuk kehormatan keluarga. Bukan, bukan itu mau saya. Saya tak mau disebut orang terhormat atau orang kaya. Saya mau disebut manusia. Saya tak apa diberi cap sebagai manusia naïf.

Katanya pekerjaan seorang jurnalis itu perlu dedikasi tinggi, tidak mengharapkan  uang. Bukankah hidup juga begitu? Hidup itu dedikasi, tak peduli cap orang lain asal kita sendiri tahu bahwa kita berbuat apa yang kita rasa benar, terutama secara moral dan etika.

Penafsiran saya terhadap elemen-elemen jurnalisme olehh Bill Kovach dan Tom Rosentiel selalu terbayang di pikiran. Elemen pertama jurnalisme menurut mereka, berdasarkan buku yang diterjemahkan oleh Yusi A.Pareanom “kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran”. Bukankah hidup pun begitu? Hidup bukan hanya tentang menjalani kegembiraan dan kesakitan.. Kita harus tahu kebenaran sesungguhnya, mengapa manusia ada? Mengapa kita melakukan ini dan itu dalam hidup?

Elemen yang kedua adalah “Loyalitas pertama jurnalisme adalah pada masyarakat”. Bukankah manusia memang begitu? Hidup bukan untuk kepentingan pribadi tetapi kepentingan sesama? Dalam lingkup kecil, kita memperjuangkan kelompok mikro kita yaitu keluarga dan teman-teman dekat. Dalam lingkup besar, kita memperjuangkan kelompok makro kita yaitu masyarakat luas, negara, bahkan dunia.

Elemen ketiga jurnalistik yaitu “Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.” Sebagai seorang perempuan, saya dikelilingi oleh sesama perempuan. Tidak ingin mengeneralisasi, tetapi kebanyakan perempuan suka bergosip, suka dengan rumor-rumor. Saya tak suka itu. Saya lebih suka bertanya pada subjek yang menjadi “sumber omongan”. Kalau mau tahu ya...tanya. Jangan berspekulasi.

Elemen yang ke-empat adalah “Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita.” Keberpihakan manusia kepada mereka yang dekat secara emosional terkadang dapat disalahgunakan. Pembelaan mati-matian kepada orang terdekatnya dilakukan walau mereka tahu bahwa yang benar adalah pihak lain.

Selanjutnya adalah “Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan.” Saling mengingatkan. Setiap manusia bisa khilaf, lupa diri. Bahkan para pemuka agama sekalipun. Hidup bersama, untuk bersama. Bukan hanya untuk mereka para petinggi dan pengambil keputusan. Namun juga orang-orang disekitar kita. Bahkan diri kita sendiri.

Elemen yang keenam adalah “Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat.” Berhubungan dengan elemen sebelumnya. Manusia yang diciptakan hidup bersama tak bisa seenaknya saja. Manusia unik, setiap orang berbeda, satu keputusan belum tentu membuat mayoritas manusia lainnya puas. Demokrasi harus dijunjung tinggi. Seperti seorang anak yang lulus SMA, ia punya hak untuk menentukan kelanjutan hidupnya dan orang tuanya punya hak untuk didengar sarannya.

“Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menjadi menarik, dan relevan,” adalah elemen jurnalisme yang ketujuh. Fokus setiap orang belum tentu sama. Bila kita mengetahui ada informasi yang kelak dibutuhkan atau penting kini ataupun nanti, kita punya tanggung jawab moral untuk memberitahukan, menyebarkan informasinya. Sayangnya penyebaran informasi penting itu terkadang tertutup oleh budaya populer. Mereka tidak peduli informasi yang sebernarnya penting itu karena takut akan isolasi dari orang-orang disekitarnya.

“Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional,” adalah elemen selanjutnya. Pernah bermain pesan berantai? Itu adalah permainan yang diambil dari kenyataan. Faktanya, manusia sering kali hanya sepotong-sepotong memberikan informasi. Penyebaran informasi kerap kali mereduksi inti pesan. Manusia dalam hal ini harus berkembang menjadi makhluk yang tak asal bicara, juga bukan hanya mendengar tetapi mendengarkan.

Elemen yang kesembilan adalah “Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.” Apa yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya? Salah satunya adalah hati nurani. Pernah dengar perkataan bahwa sekali-sekali tak apa tidak mengikuti peraturan? Peraturan itu buatan manusia, ada peraturan yang tidak bisa diterapkan di semua konteks. Seakan berwarna abu-abu, argumen yang mendukung akan membenarkan tingkah laku manusia.

Elemen yang terakhir adalah “Masyarakat juga mempunyai hak dan tanggung jawab mengenai berita.” Elemen itu memperjelas bahwa semua orang harus menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang saling memberitahu dan bersosialisai. Banyak dari masyarakat sipil belum tahu bahwa kita sedang berjalan menuju masyarakat informasi dimana setiap informasi akan dihargai. Citizen journalism atau kegiatan masyarakat dalam ikut serta membuat suatu berita merupakan cara yang menurut saya tepat untuk menyadarkan pentingnya informasi yang akurat.

Belakangan ini, harus saya akui, rumput tetangga terlihat lebih hijau di mata saya. Dunia di luar jurnalisme menjanjikan uang yang lebih banyak, citra sebagai orang yang disegani dan dihormati, orang-orang yang berkumpul untuk mencoba menjadi realis tanpa sedikit unsur idealis. Namun saya terus mengemudikan diri, upaya untuk memperjuangkan kemanusiaan harus terus-menerus berada di tangan.

Tarik-menarik kepentingan

Lonjakan produk pers dapat semakin dirasakan. Gurita perusahaan media kini bukan hanya Kompas Gramedia Group (Radio Sonora, Harian Kompas, Kompas.com, Kompas TV, Harian Tribun Medan, Tribun Jambi, Tribun Lampung, Tribun Batam, Tribun Jabar, Tribun Kaltim, Tribun Manado, Tribun Pekanbaru, Tribun Pontianak, Tribun Timur, Tribun Jogja, Tribunnews.com, Warta Kota, Kontan, Bangka Pos, Banjarmasin Post, Metro Banjar, Pos Kupang, Serambi Indonesia, Sriwijaya Post, Pos Belitung, Prohaba, Flores Star, Warta Jateng, Surya, Bola) . CT Corp hadir dengan situs berita dan majalah Detik kemudian Trans7, TransTV, dan yang terbaru adalah CNN Indonesia. MNC Group dengan RCTI, Global TV, MNC TV, Global FM, RD FM , V radio, Okezone.com, Sindo TV, Koran Sindo, Sindo Trijaya FM, dan sindonews.com. Jawa pos group dengan JPNN.com, harian Jawa Pos, dan banyak koran regional lainnya. Media group meramaikan industri media dengan Metro TV, metrotvnews.com, Harian Media Indonesia, dan mediaindonesia.com. Beritasatu Media Holdings memegang Jakarta Globe, Suara Pembaruan, majalah Globe Asia, Investor Daily, Student Globe, Beritasatu TV, dan beritasatu.com. Tempo Media Group memberi ‘sumbangsih’ melalui Majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo.co, Tempo English, dan Travelounge. Viva group dengan AnTV, TVOne, dan viva.co.id.

Keberagaman media membuat khalayak mendapat banyak referensi tentang kebenaran atau realita yang disusun oleh pekerja media termasuk para jurnalis. Namun bias media atau kecondongan media ke arah tertentu sepertinya baru disadari betul oleh khalayak luas saat tahun politik 2014, khususnya saat masa-masa kampanye Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Sebagian besar dari kita pasti tahu pada saat itu ada dua media yang ‘bertarung’ memperlihatkan ke-bias-annya ke masing-masing pasangan yang didukung menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2014-2019. Kini bias media terdengar lantang lagi di masa-masa kisruh DPRD DKI Jakarta dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Tayangan wawancara Basuki Tjahaja Purnama yang mengucapkan kata-kata tidak santun pada tanggal 17 Maret di salah satu televisi swasta menjadi pemicu polemik. Di media-media tertentu mayoritas pemberitaan menyudutkan sikap pria yang akrab disapa Ahok itu karena dianggap arogan dan tidak beretika. Di media lain, fokus pemberitaan ada pada kisruh dana siluman pada APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daaerah) DKI Jakarta.

Lebih dalam, tema tentang media massa yang menurut saya tepat untuk ditulis di sini adalah Agenda Setting. Severin dan Tankard (2010) pada bukunya yang berjudul Communication Theories menjelaskan bahwa Agenda Setting adalah rangkaian penyampaian informasi pada khalayak secara rutin atau pun terus-menerus tentang satu isyu atau beberapa isyu yang diharapkan dapat memengaruhi Public Agenda atau menjadi pembicaraan hangat di masyarakat luas.

Konten beberapa media di Indonesia dibentuk sedemikian rupa oleh pihak yang mempunyai kepentingan dan tidak bertanggung jawab karena melakukannya untuk keuntungan pribadi bukan untuk masyarakat luas. Agenda Setting dan unsur bias digunakan dalam strategi pencapaiam tujuan mereka yang kebanyakan adalah politisi dan pebisnis.

Unsur bias atau tidak netral tentu langsung mencoreng nama pers. Namun sebuah Agenda Setting memang dilakukan oleh seluruh media massa yang memproduksi konten jurnalistik. Tujuan Agenda Setting yang diberlakukan oleh media atau lembaga pers tertentu dapat dibernarkan adanya apabila untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan pemilik media atau pihak-pihak lain yang mengakibatkan kerugian masyarakat. Agenda Setting yang dilakukan demi kepentingan publik dilakukan oleh pers tanggung jawab sosial dan pers pembangunan. Berbeda dengan beberapa jenis “pers berdasarkan kebebasan” lainnya seperti pers otoritarian yang bekerja untuk para bangsawan, pers libertarian yang kebanyakan dipengaruhi oleh kaum kapitalis demi penambahan modal, dan pers komunis soviet yang menjadi alat bagi partai komunis.

Di Indonesia sendiri ada sebutan “Pers Pancasila”. Pers nasional adalah pers pancasila yaitu pers yang berorientasi, bersikap, dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Arifin, 1992:54). Banyak pengamat yang menyimpulkan bahwa pers pancasila merupakan campuran pers pembangunan dan pers tanggung jawab sosial.

Pertanyaannya sekarang, sudahkan pers Indonesia secara umum menganut paham pers pancasila? Jawabannya adalah belum. Unsur kode etik, kepemilikan media, dan penerapan Agenda Setting pers di Indonesia belum seluruhnya ada di paham yang sama yaitu pers pancasila.

Publikasi akar rumput

Pernahkah Anda membaca sebuah artikel dengan judul yang diketik dengan huruf miring di surat kabar harian Kompas? Atau mungkin liputan profil tentang mereka yang belum dikenal luas di segmen “sosok” di surat kabar harian yang didirikan oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama itu?

Tulisan itu disebut feature dalam dunia jurnalistik. Feature adalah sebuah karya jurnalistik yang kental dengan unsur kemanusiaan, disusun secara menarik/tidak kaku seperti berita pada umumnya (hard news/berita lempang) tetapi tetap berdasarkan fakta. Jika berpikir tentang feature, tepat rasanya bila kita berpandangan dengan elemen jurnalisme yang ketujuh yaitu “Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menjadi menarik, dan relevan .” Ciri yang paling menonjol adalah objek tulisan feature biasanya adalah mereka yang “bukan siapa-siapa”. Bila pun ada tokoh ataupun kelompok terkenal yang dijadikan objek tulisan, akan ada sisi lain yang diangkat. Sisi kemanusiaan mereka atau mungkin sisi yang belum banyak orang yang mengetahuinya.

Walaupun artikel feature tidak melulu tentang manusia, bisa lingkungan hidup, kebudayaan, iptek, dan sebagainya, saya memilih untuk fokus pada penulisan feature yang mengangkat masyarakat atau komunitas akar rumput. Masyarakat akar rumput (grassroots) sendiri berarti mereka yang merupakan masyarakat sipil/umum tanpa ada embel-embel politik, pemerintahan, bisnis besar/baron, opinion leader atau tokoh publik pada umumnya. Lalu mengapa masyarakat akar rumput menjadi penting?

Masyarakat adalah salah satu syarat dari berdirinya suatu negara selain pemerintahan, wilayah, dan pengakuan negara lain. Opini dan pendapat masyarakat berharga untuk berjalannya suatu negara. Apalagi Indonesia yang dikenal sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.

Tujuan penulisan feature bermacam-macam ada yang untuk menginspirasi, untuk mengkritik, untuk menghibur dan sebagainya. Seperti produk olahan pers lainnya, feature dapat mewakili empat fungsi pers yang ada yaitu untuk menyebarkan informasi, mengedukasi, menghibur dan sebagai pengawal pemerintah (watch dog).

Menariknya tanyangan atau artikel feature dapat memrepresentasikan situasi sosial yang timpang di Indonesia maupun keberagaman Indonesia yang membanggakan. Contohnya program yang digawangi oleh Net TV “Indonesia Bagus” dan “Lentera Indonesia”.

Saya sebagai khalayak/konsumen media dan sebagai mahasiswa yang berkonsentrasi mempelajari ilmu jurnalistik berharap produk jurnalistik yaitu feature, baik itu tulisan atau tayangan dapat diproduksi lebih banyak lagi. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia butuh penghargaan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara. Sebut saja contoh pasal yang ada di UUD 1945 pasal 34 ayat 1 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Pada kenyataanya tidak sesuai dengan apa yang tertulis di Undang-undang Dasar.

Diantara gempuran informasi mengenai para elite politik dan mereka yang dianggap sebagai tokoh publik, rakyat Indonesia harus disadarkan dengan keberadaan orang-orang disekitarnya yang berkontribusi pada lingkungan baik banyak atau sedikit dan secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu saya menjunjung peran pers untuk memajukan semangat egaliter.

Sejujurnya saya sempat merasa minder karena melihat banyak dari mereka yang menjadi jurnalis sukses atau yang mengabdikan dirinya menjadi jurnalis adalah mereka yang mempunyai gelar sarjana di bidang ilmu lain selain jurnalistik. Mereka banyak yang berasal dari latar belakang pendidikan hukum, hubungan internasional, filsafat, sastra Inggris, dan yang lainnya. Namun kini saya menemukan kekuatan kami yang berasal dari latar pendidikan formal di bidang jurnalistik yaitu feature. Kami dididik untuk melihat dunia secara keseluruhan, menemukan jarum diantara tumpukan jerami, melihat cahaya diujung terowongan gelap.

Kami sebagai mahasiswa jurnalistik harus lebih banyak meluangkan waktu mempelajari berbagai desk berita daripada wartawan yang mempunyai latar belakang pendidikan sesuai dengan desknya. Tanggung jawab lebih besar…tentu. Rasa bangga bisa membuktikan diri karena kerja keras…apalagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun