Mohon tunggu...
RIKA KURNIAWATI
RIKA KURNIAWATI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencoba membiasakan menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Komunikasi Politik, Politik Komunikasi" oleh Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.

19 Agustus 2014   22:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:07 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hawa politik masih tercium setelah satu bulan lebih kita melewati pemilihan umum presiden dan wakil presiden untuk periode 2014-2019. Buku karangan seseorang yang disegani di Universitas Padjajaran Bandung ini membuat pikiran saya terbuka. Sesuai dengab sub judulnya “membedah visi dan gaya komunikasi praktisi politik”, buku dengan isi atau inti pembahasan total 308 halaman ini akan membuat Anda yang membacanya lebih kritis dan peka terhadap fenomena sosial politik yang ada. Mulai dari partai, tokoh partai, pelaku pemerintahan, media massa, dan reaksi rakyat lengkap dibahas.

Ada 4 bagian pada buku yang dibrandol seharga Rp65.500,00 ini. Bagian pertama yaitu “Pendahuluan : Anomali Komunikasi Politik di Indonesia”, di lanjutkan dengan 3 ranah yaitu “Komunikasi Legislatif” ; “Komunikasi Eksekutif” ; “Pelajaran dari Luar Negeri”. Pada bagian pertama, Prof. Deddy Mulyana menekankan bahwa komunikasi politik itu rumit. Ia bertumpang tindih dengan ranah komunikasi lainnya, seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, publik, organisasi, massa, bisnis, dan pendidikan. Kerumitan komunikasi politik ditambah lagi dengan dampak masyarakat Indonesia yang termasuk negara berbudaya kolektif. Budaya yang menginginkan kebersamaan, salah satunya ingin dimengerti oleh satu sama lain tanpa menjelaskan benar-benar apa yang diingini. Hal semacam itu disebut komunikasi konteks-tinggi. Orang yang melakukan komunikasi  konteks-tinggi lebih banyak mengutarakan pesan yang tersirat, yang ambigu, yang mengharuskan kita untuk menebak-nebak. Contohnya yaitu, Soeharto yang terkenal dengan senyumannya yang misterius dan Megawati yang tidak banyak omong kepada wartawan. Faktor lain yang menyebabkan anomali yaitu pemilihan bahasa. Bahasa yang dipilih pada saat kampanye atau saat sudah terpilih banyak yang dihiasi dengan “manik-manik”. Mulai dari jargon, eufimisme, metafora, puffery, dan labelling.

“Komunikasi legislatif” atau bagian kedua dari buku ini membahas tentang wakil rakyat dan bagaimana bantuan iklan dan PR (public relation) mengambil bagian dari proses kemenangan mereka. Kebanyakan dari wakil rakyat bukannya mendengarkan suara rakyat malah mendengarkan nafsu duniawi pribadi masing-masing. Ditambah lagi tokoh politik yang membentuk citra diri palsu. Mereka mempunyai 2 panggung. Panggung depan dan panggung belakang. Di depan mereka terlihat sumringah, memberi janji yang menyenangkan hati rakyat. Menebar pesona mulai dari iklan baliho, iklan media massa sampai ‘sok peduli’ dengan mengunjungi rakyat kecil. Namun di belakang mereka memunculkan wajah aslinya, keinginan pribadi mereka. Hal ini menambah anomali politik Indonesia. Terjadi anomali, mereka melakukan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya. Di mana politisi seharusnya memegang amanat rakyat, mewakili suara rakyat dan mereka yang tertindas dan tidak mendapat keadilan di negeri sendiri.

Bagian 3 dengan judul “Komunikasi Eksekutif”. Sesuai dengan Indonesia yang berkepala pemerintahan seorang Presiden, maka dalam bab ini sang penulis lebih banyak membahas tentang Presiden-presiden Indonesia dan gaya politiknya (SBY, Megawati, Gus Dur, Soeharto). Prof. Deddy Mulyana salah satunya mengambil contoh perang dingin antara Megawati dan SBY yang telah terjadi cukup lama. Kemudian juga debat calon presiden dan wakil presiden yang menurut sang penulis tidak seeksplisit Amerika Serikat yang tidak segan-segan menjatuhkan lawan debatnya. Terlihat dari debat yang mempertemukan SBY-JK dan Megawati-Prabowo tahun 2009 dimana SBY banyak sependapat dengan lawannya dan terlihat sangat menghindari konflik terbuka. Selanjutnya juga ditulis aspirasi mengenai kebutuhan akan presiden antar budaya dan presiden komunikatif. Presiden antarbudaya maksudnya yaitu presiden yang luwes dengan seluruh budaya. Mulai dari budaya yang beraneka ragam di dalam Indonesia sampai di dunia internasional. Presiden yang komunikatif maksudnya presiden yang membangun komunikasi sejelas-jelasnya dengan tatanan birokrasi, dari para menteri, anggota legislatif dan anggota birokrasi lainnya. Dengan kata lain, presiden yang bisa membangun birokrasi yang sehat. Bagian ini juga membahas tentang fenomena yang hadir akibat kepemimpinan mereka yang pernah mempimpin Indonesia kecuali Soekarno dan BJ Habibie.

Prof. Deddy Mulyana menurut saya prbadi cukup bijak. Ia mau belajar dari negara lain. Ia kemudian menuliskannya di bagian terakhir yaitu “Pelajaran dari Luar Negeri”. Sang penulis menggambarkan pemilu AS yang acap kali menegangkan. Dipenuhi dengan manuver politik, manipulasi, dan ilusi sejenak yang diperlihatkan untuk rakyat. Dan yang menarik adalah Prof Deddy Mulyana menambahkan informasi mengenai tokoh yang tidak ‘terkenal’ tetapi menginspirasi. Zainudin namanya. Beliau adalah pejuang kemerdekaan yang kemudian ditugaskan di kementerian luar negeri di Australia.  Ia menikah dengan wanita kulit putih berkebangsaan Australia. Sempat ingin kembali ke Indonesia, mengabdi kepada tanah air tetapi karena suatu hal keinginan tersebut gagal terjadi. Ia kemudian menetap di Australia sampai akhir hayatnya. Ia menjadi salah satu orang Indonesia yang paling setia terhadap negaranya walaupun ada di negeri orang. Berikut kutipan yang sungguh menggugah hati dan pikiran dari Alm.Zainuddin,

“ Saya marah kepada orang-orang Indonesia yang mengkritik Indonesia di sini (Australia) secara terbuka. Mereka tahu teori, tetapi tidak praktiknya. Mereka pikir demokrasi yang dipraktikkan di sini (Australia) adalah demokrasi ideal dan tidak dimanipulasi seperti di Indonesia. Mereka pikir orang-orang sini jujur. Dulu ada spy di universitas yang mengamati orang-orang anti pemerintah, meskipun terdapat kebebasan di sini. Tanyalah orang-orang Aborigin pun tentang demokrasi, apakah pemerintah di sini demokratis atau tidak.”

140843512434545298
140843512434545298

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun