Mohon tunggu...
Ki Plered
Ki Plered Mohon Tunggu... -

Plered hanyalah air yang mencari kawan sebagai teman seperjalanan dalam parit-parit kecil, sungai, atau ia yang mengairi sawah dan diminum ternak, menguap, ikut dalam mega-mega, turun sebagai hujan di gunung serta kembali dalam proses menuju pangkuan samudera raya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perang saja yuk, Wi…!

21 Juni 2015   04:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah semalam suntuk aku berbincang dengan Sastromidin tentang kelelahan kami yang harus berpindah-pindah kontrakan, sementara kedua anakku makin gede, tiba-tiba saja kawanku yang menjadi marketing sebuah Bank datang bertamu pagi itu.

    “Kebetulan, ni semaleman kami diskusi soal orang miskin tidak punya hak tinggal di negeri ini. Bagaimana menurutmu?” Sastromidin langsung mencecar kawanku.
    “Ah, jangan apriori begitu to, Kang! Pasti ada solusi.”
    “Ini bukan soal apriori. Ini soal warga negara yang terpinggirkan dan tidak lagi punya lahan, yang bahkan untuk tempat berteduh. Ketika mereka memilih berteduh di gubuk-gubuk liar, di tanah instansi yang terjual kakek moyang mereka, di lahan irigasi, dll. mereka pun dihantui rasa was-was bahwa suatu saat akan digusur.” Sastromidin ngotot.
    “Ow…Mereka kan ndak dilarang beli rumah, Kang! Kalau ndak bias cash, yo kredit KPR melalui Bank saya!
    “Nha ini! Ini Ki Plered, kancamu ini memang jos tenan!. Bener, KREDIT! Ora gur kredit motor utawa tipi, KREDIT OMAH! Lha syaratnya?”
    “Kang Setro ini mau mengajukan kredit atas nama karyawan, atau usaha?” kawanku ini bertanya sambil mengeluarkan beberapa buku yang kertas-kertasnya berlapis karbon. Naluri marketingnya terpanggil. Aku yakin itu lembaran blangko pengajuan kredit.
    “Jadi ada dua jalur kredit, Dul? Oke, misalkan atas nama karyawan gimana?”
    “Gampang, kumpulkan copy dokumen KTP, KK, dan Slip Gaji.”
    “Cocok ini, cocok! Ki, sampeyan bakal punya rumah! Tinggal minta slip gaji ke Pak RT tempat Ki Plered kerja di perumahan elit itu. Slip Gaji Satpam…apa nama kerennya itu Ki?”
    “Service Guard.”aku menjawab.
    “Nah itu! Service Guard, Jasa Layanan Keamanan!”
    “Syarat berikutnya, DP tunai sebesar 30-60% dari harga rumah. Jika harga rumah 300 juta, berarti harus siap DP 90jt – 180jt”kawanku yang marketing KPR itu menjelaskan.
    “Wow…!Apa Panjenengan punya uang cash sebesar itu, Ki? Paling tidak, setengahnya-lah. Kurangannya, bisa minjem ke saudara, temen, apa ke Koperasi. Sekarang, banyak lho Koperasi-koperasi yang mudah cair.” giliran Kang Sastromidin nyerocos.
    “Slip gaji yang dimaksud adalah penghasilan diatas 4juta per-bulan, lho Kang.” Sang Marketing menyambung pembicaraannya yang sempat terputus. Aku hanya tersenyum simpul, dan garuk kepala mendengarnya.
    “El..lho, diajak mikir bener-bener, kok malah cengengesan…! Lha piro gajimu, Ki?” Sastromidin menghardik.
    “900 ribu!”
    “E..allah! Yo ndak mungkin bisa kredit. Kalau begitu, pake opsi kedua saja! Jalur usaha. Nyai Plered kan masih buka warung kecil-kecilan dan Wedang Plered. Bisa to, Dul?”
    “Bisa saja, asalkan punya SIUP dan TDP. Syukur jika sudah punya NPWP juga.”
    “Ora mudeng, aku. Tapi jika belum, kan ya bisa dibikin. Ini demi hak tempat tinggal yang dijamin Undang-undang Dasar Negara kita, lho Dul!”
    “Bisa. Yang penting administrasi keuangan usaha jelas, ada pembukuannya selama dua tahun berjalan….!”ucapan kawanku keburu dipotong Kang Sastromidin.
    “Wis…wis! Malah tambah ribet! Ngomong saja pengajuannya paling banter dua tahun lagi, itu pun harus disurvey, kemudian soal a-ce-ce dan tidaknya itu urusan kantor. Halah, memang paling tepat kesimpulan diskusi semalam, bahwa wong cilik di negeri ini tidak punya hak punya rumah. Titik!” Sastromidin bersungut-sungut.
    “Tetap ada solusi, Kang. Mereka mestinya menyisihkan penghasilan, menabung di Bank saya! Setelah terkumpul, buat beli rumah. Jangan boros, jangan dihabiskan! Jangan dihabiskan Cuma buat makan enak, Kang!” sang Marketing tak mau kalah.
    “Ha…ha…ha…” Sastromidin tertawa sampai badannya berguncang, “…lha kalo gaji Ki Plered 900 ribu sebulan, trus harga rumah 300 juta, berarti Ki Plered harus nabung selama 334 bulan, atau 27 tahun. Selama itu pula keluarganya tidak boleh makan! Puasa! Pada waktu itu, harga rumah mungkin sudah 2 atau 3 kali lipat harga sekarang, trus harus nabung lagi….walah Dul…Dul!”
    Aku dan kawan marketing itu hanya diam. Bengong.
    “Sudah, saya punya solusi paling tepat. Kita bikin surat saja, kita tulis besar-besar, KITA PERANG SAJA YUK, WI…!! Ajak perang Amerika kek, Londo, atau negara mana. Biar wong cilik bisa punya rumah!”
    “Kok…?” aku dan Sang Marketing bersuara bersamaan.
    “Lha iya, nanti yang kaya-kaya itu kan pada ngungsi, mereka takut mati. Nha, rumahnya kita tempati. Orang kecil macam kita ini setiap hari sudah bercanda dengan maut. Selama ini tinggal di bantaran sungai yang sewaktu-waktu bisa meluap saja tidak takut!”
    “Tenang Kang, tenang!” aku berusaha menengahi, “Sebenarnya ada solusi yang paling ringan.”
    “Apalagi? Genah sepanjang malam saja nggak ketemu lho ya!”
    “Masih ingat lagunya Wak Haji? Itu lho, 150 juta penduduk Indonesia… Itu berpuluh tahun lalu. Sekarang mungkin sudah 300 juta, bahkan lebih. Itu yang ber-KTP.”
    “Hubungannya?”
    “Coba bayangkan, jika setiap penduduk iuran seribu rupiah saja dalam satu minggu. Itu berarti ada 1 rumah untuk si miskin, bahkan yang type RSS bisa 2 rumah. Nha kalau setahun? Pastinya ada 52 sampai 104 keluarga miskin yang punya rumah tinggal.”
    Sastromidin manggut-manggut. Kedua matanya beberapa kali mengerjap.
   Sang Marketing Bank juga Nampak antusias. Katanya,”Itu baru ide yang pas! Selanjutnya tinggal dibentuk panitia penggalangan dana, atau melalui Bank-bank, termasuk Bank saya!
    “Boleh itu…tapi, siapa yang jadi panitia? Apa kredibilitasnya super? Jangan-jangan malah membuka peluang korupsi baru. Pajak yang dari dulu sudah diiurkan dan dilindungi undang-undang saja dikorup!” Sastromidin menatap penuh curiga. Namun, seperti biasa, sebelum ada yang mengkritisi argumennya, ia segera membantah pernyataannya sendiri, “Tapi, tidak boleh berpikiran seperti itu! Itu namanya penyakit hati. Kalau sudah diniatkan untuk kebaikan, kita tidak boleh berprasangka. Harus ikhlas! Negeri ini negeri yang beragama, semua mengajarkan kebaikan, welas asih, ikhlas, bukankan Bang Iwan juga pernah bilang bahwa memberi itu terangkan hati…! Ini harus segera direalisasikan. Secepatnya kita tulis surat!”
    “Ajakan perang, Kang?”
    “Yy..ya! eh, tidak lagi….PANSUS!”
Sekejap kemudian, Sastromidin lenyap bersama gerutuannya. Entahlah, barangkali ia bersegera membentuk pansus rumah miskin. Sang Marketing pun raib entah ke mana. Di atas tikar di rumah kontrakan, aku hanya sendiri memegang selembar brosur KPR yang aku temukan di tepi jalan kemarin sore. Istriku tercinta menyadarkan lamunanku.
    “Masih kepikiran soal rumah? Kalau memang rejeki kita, pasti akan terwujud pada waktunya, Pak. Sudah, mandi saja sana! Sudah saatnya berangkat ke Pos Satpam lho! Itu, seragamnya juga sudah saya seterika.”
--------------------------------------------------------------------Semarang, 21 juni 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun