"Ya itu tadi, seperti kata bapak. Kayak itu lho Bu, waktu di warung makan....saya minta es teh, bakso, atau nasi rames...trus ada yang menyampaikan ke tukang masak, lalu dianter deh ke kita!" jawab anak sulungku.
"DPR kan wakilnya Rakyat, trus...rakyat itu siapa?" anak bungsuku yang sedari tadi hanya diam dan menyembunyikan tangan di balik punggungnya tiba-tiba ikut bicara.
"Semua orang yang hidup di negara ini, termasuk Bapak, Ibu, Mamas, dan Adik." aku berusaha menjelaskan.
"Horeeee! Berarti Bapak sama Ibu ndak boleh sedih lagi! Sekarang sudah jelas, kita ini sebenarnya kaya. Wong, Bapak saja mampu membayar pelayan dengan lima puluh juta - tujuh ratus - tujuh puluh ribu - rupiah setiap bulan!" bocah kelas satu SD itu bersorak kegirangan.
"Siapa yang ngajari ngomong gitu?" ibunya menghardik.
"Lha iya, betul to, Mas? Ni, tadi Mamas membacakan ini!" ujarnya sembari mengangsurkan sobekan koran bekas pembungkus goreng pisang. Di koran itu tertulis, '...gaji seorang anggota DPR sebesar Rp.59.770.000,- setiap bulan'.
Ah, untung kedua bocah kecilku ini tidak mengetahui bahwa itu baru gaji pokok, belum termasuk uang jalan-jalannya ke Singapura, Italia, Belanda, Amerika.....................
Tengah malam, ketika suasana semakin sepi, aku terbangun oleh suara yang lamat-lamat terdengar dan makin lama semakin jelas dari dalam gedung kantor ini....suara perempuan! Bulu kudukku jadi merinding... "....sugih! Ojo dikiro! Wong, pembantu saja saya bayar hampir enampuluh juta per-bulan!"
Ooooo....lah, ternyata istriku tercinta nglindur.....!
================oo0oo================