Mohon tunggu...
Khairil Hamdy
Khairil Hamdy Mohon Tunggu... -

A father of 4. A proud grandpa.\r\nMenyukai Matematika, Seni dan membaca berita olahraga dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nama Untuk Anakku

19 Mei 2011   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:28 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_110622" align="aligncenter" width="252" caption="www.bayicerdas.com"][/caption] "Perempuan". Demikian ucapan dokter yang memeriksa istriku. Inilah yang kutakutkan. Begitu takutnya aku sehingga hari-hari kulalui dengan diliputi perasaan takut. Takut yang luar biasa. Takut yang ku tak tahu bagaimana mengatasinya. Ucapan dokter kandungan yang memeriksa kehamilan istriku tak dapat kutangkap maknanya. Telingaku terasa berdesing. Ucapan itu dokter itu memantul-mantul di gendang telingaku hingga tak dapat kutangkap maknanya. Sampai istriku bangkit dari duduknya. Kuikuti bangkit duduknya. Berjalan beriringan keluar ruang periksa. Wajah istriku sumringah. Ada pancaran bahagia keluar dari matanya. Aku coba mengimbangi kebahagiaannya itu dengan tersenyum. Tapi senyum itu terasa janggal. Ada rasa pahit disitu. Kucoba menenangkan diri dengan menggenggam tangannya. Berdampingan kami berjalan menuju apotek. Menyerahkan resep. Lalu duduk menunggu. Istriku terus menghujaniku dengan kata-kata yang bersemangat. "Perempuan, Bang. Sehat. Abang lihat tadi gerakannya?" Aku mengangguk. Ya, tadi aku dengan jelas melihat gerakan jabang bayi dalam kandungan istriku. Bergerak lincah. Bahkan cegukan. Dokter memperlihatkan bagian-bagian tubuh mungil itu. Dari wajahnya lalu ke tubuhnya. Tangan, lalu kakinya. Jemarinya lengkap. Mungil. Lalu dokter memperlihatkan jenis kelaminnya. "Perempuan," katanya. "Tapi pastinya bulan depan kita lihat lagi". Bulan depan kita lihat lagi. Itu menimbulkan harapan buatku. Aku sangat berharap anak keempatku ini lelaki. Harapan ini sudah ada sejak berita positif kehamilan istriku. Aku membayangkan menimang bayi kecilku dan menyebut namanya. Hm..., kalau saja lelaki. [caption id="attachment_110618" align="alignleft" width="346" caption="www.metroaktual.com"][/caption] Dalam menunggu itu terbayang wajah ketiga anakku. Iqbal, Tasha, Tatya. Betapa lucunya ketika mereka masih kecil. Aku berusaha bersikap adil kepada ketiganya sejak dari kelahiran mereka. Kain-kain yang digunakan saat mereka lahir, aku sendiri yang mencucinya. Ya, aku sendiri. Ya, kain-kain dari ketiga kelahiran mereka. Aku tahu itu hal yang sulit dilakukan. Perlu waktu lebih satu jam bagiku untuk membersihkan kain yang penuh darah dan kotoran itu. Aku sendiri yang melakukannya, meski kami punya pembantu. Bahkan tiga orang pembantu ketika anakku yang ketiga lahir. Tak terasa melelahkan. Hanya kebahagiaan yang mengiringi pekerjaan berat itu. Kucuci dengan tanganku sendiri meski punya mesin cuci. Berulang kusikat, hingga jariku terasa nyeri karena gesekannya dengan kain yang berulang-ulang. Tapi aku tak perduli. Aku harus melakukannya sendiri. Aku harus melakukannya untuk tiap anakku yang lahir. Aku harus adil. Perlakuan terhadap ketiganya harus sama. Aku tidak mau mereka memprotesku kalau aku tidak berlaku adil terhadap mereka. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam dan hari demi hari berlalu sejak pemeriksaan kandungan yang menyatakan bahwa anakku yang keempat perempuan. Sejak pemeriksaan itu aku sudah membuka-buka buku tentang bayi koleksiku. Halaman demi halaman sudah kubolak-balik. Berulang-ulang. Kadang aku mampir ke toko buku dan membuka-buka buku tentang bayi, tapi aku tak menemukan apa yang kucari. Sering aku keluar toko buku dengan kepala pusing seperti habis dihantam palu. "Perempuan, Pak. Anak Bapak perempuan," ucap dokter itu yakin. Ucapan itu menghantam telingaku dan menghancurkan harapanku bersamanya. Harapan yang kupupuk sejak sebulan lalu. Harapan yang kupupuk sejak berita positif kehamilan istriku. Harapanku untuk mendapatkan bayi lelaki. Aku belum mendapatkan nama yang baik untuknya. Ya, nama. Itu yang kupusingkan sejak enam bulan lalu. Lebih membuatku pusing sejak sebulan lalu. Ingatanku membawaku ke kelahiran anak pertamaku. Iqbal, nama itu melompat dari kepalaku begitu mendengar tangisan pertama anakku. Ya, kuberi nama anakku Iqbal. Masalah yang kuhadapi kini sebenarnya hadir sejak kelahiran anak kedua. Aku yang begitu mengagumi wanita Rusia, saat itu masih bernama Uni Soviet, maka anakku kuberi nama Tasha. Berbau Rusia. [caption id="attachment_110620" align="alignright" width="228" caption="www.masterfile.com"][/caption] Aku sendiri tak tahu pasti kenapa aku begitu mengagumi wanita Rusia. Dalam bayanganku, wanita Rusia itu dingin dan kecantikannya menyimpan misteri. Ya, misteri. Jangan-jangan bayanganku itu timbul dari wanita-wanita Rusia yang menjadi agen KGB. Mata-mata. Begitu dingin. Begitu misterius. Dan aku mengaguminya. Lalu anakku yang ketiga juga perempuan. Kuberi nama Tatya. Nama yang berbau Rusia. Tak ada masalah. Keinginanku sudah terpenuhi. Nama anak-anakku Iqbal, Tasha, Tatya. Aku yang mengagumi komputer sejak komputer itu sendiri belum menjadi bagian hidup kita sehari-hari telah menjadi kekaguman tersendiri untukku. Ya..., aku ingin agar aku bekerja dengan komputer. Coba urutkan nama Iqbal, Tasha, Tatya. Kalau secara ascending/menaik nama-nama itu telah terurut sesuai dengan urutannya. Sama-sama terdiri dari 5 huruf. Tapi sekarang aku pusing karenanya. Apa lagi nama yang berbau nama wanita Rusia yang berawalan T yang terdiri dari 5 huruf? Aku bingung. Aku tak mendapatkannya walau sudah membolak-balik buku-buku nama bayi. Aku belum mendapatkannya. Aku pusing. Aku belum mendapatkan nama untuk calon bayiku. Anak keempatku. Perempuan. --------------------------------- Ada yang bisa bantu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun