Mohon tunggu...
Khussy
Khussy Mohon Tunggu... pegawai negeri -

tidak ada yang kebetulan di dunia ini. semuanya terjadi dan tertulis dalam skenario-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Sertifikasi tapi Tega Ikut Jualan Buku

19 Juli 2012   06:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:48 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seiring mulai masuknya tahun pelajaran baru, maka orang tua peserta didik juga harus siap-siap dengan sesuatu yang baru. Biasanya mulai dari kebutuhan baju yang mungkin memang harus ganti karena si anak sudah besar ataupun kebutuhan untuk tulis menulis. Buku tulis, pensil, pulpen, penghapus, penggaris bahkan untuk tas sekolah terkadang si anak meminta yang baru. Sebagai orang tua tentunya kita bisa memutuskan mana yang memang harus didahulukan.

Tetapi bukan itu saja, orang tua dihadapkan dengan “Lagu Lama” yaitu buku-buku pelajaran yang dijual melalui sekolah. Padahal hal itu jelas-jelas dilarang. Sebagaimana telah dijelaskan di Permendiknas Nomor 2 tahun 2008 yang mengatur tentang BUKU.

Di Pasal 7 disebutkan kalau pendidik dapat menganjurkan peserta didik untuk membeli buku, tetapi tidak wajib, dan membelinya harus langsung kepada pengecer. Sedangkan Satuan Pendidikan sendiri wajib menyediakan buku teks yang diperlukan agar bisa dipinjam oleh peserta didik melalui perpustakaan sekolah.

Tetapi apa yang terjadi? Peserta didik diwajibkan membeli, buku-buku dibagikan ke murid-murid dengan pembayaran yang beragam. Mulai dari diangsur hingga membayar langsung. Padahal jelas disebutkan kalau buku-buku itu seharusnya dipinjamkan ke peserta didik.

Sedangkan masa pakai buku sendiri sesingkat-singkatnya 5 (lima) tahun. Kecuali ada perubahan substansif, tidak layak pakai, dilarang peredarannya sebagaimana bisa kita baca di Pasal 10.

Saya teringat saat tahun 80-90an dimana setiap kenaikan kelas selalu ke rumah saudara untuk meminjam buku-buku pelajaran. Tetapi sekarang? Isinya sama pun tetap harus beli. Yang menjalankan bisnis ini tentu saja orang-orang yang ada di satuan pendidikan. Dengan mengatasnamakan KOPERASI SEKOLAH.

Padahal jelas juga disebutkan di Pasal 11, “Pendidik, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan pemerintah daerah, dan/atau koperasi yang beranggotakan pendidik dan/atau tenaga kependidikan satuan pendidikan, baik secara langsung maupun bekerjasama dengan pihak lain, dilarang bertindak menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan atau kepada satuan pendidikan yang bersangkutan, kecuali untuk buku-buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Departemen, departemen yang menangani urusan agama, dan/atau Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan dinyatakan dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

Jika melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tercantum pada Pasal 14 ayat 1, “Pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, anggota komite sekolah/madra-sah, komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan pemerintah daerah, dan/atau koperasi yang beranggotakan pendidik dan/atau tenaga kependidikan satuan pendidikan yang terbukti melanggar ketentuan Pasal 11 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apakah pendidik di satuan pendidikan itu salah karena ada jual-beli buku di sekolah? Tidak semua pendidik yang ada setuju dengan hal itu. Banyak yang menolak dan bahkan memboikot tidak menggunakan buku-buku tersebut. Walau buku-buku itu sudah dikoordinir oleh K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) ataupun MKKS.

Bagaimanapun fee dari buku mungkin menggiurkan, tidak kurang dari 30 perseratus dari harga buku yang ada. 10% untuk sekolah, 10% untuk pendidik (sesuai mata pelajaran yang diampunya) dan sisanya 10% untuk Kepala Sekolah dan lainnya.

Coba kita hitung, jika misal harga buku mata pelajaran A adalah Rp. 20.000,- dan si pendidik mengajar 6 kelas (dengan perhitungan mata pelajaran yang diampunya yang 4 jam seminggu, maka untuk memenuhi syarat sertifikasi dia harus mengajar 6 kelas), dengan jumlah murid 36 per rombongan belajarnya. Maka fee yang diperoleh guru tiap semester dari penjualan buku tersebut:

(6 kelas X 36 buku x Rp. 20.000,- ) X 10% = Rp. 432.000,-

Jumlahnya pasti tidak seberapa jika dibandingkan gaji guru yang sudah SERTIFIKASI. Gaji mereka lebih besar dari jumlah tersebut di atas. Gaji tambahan karena sudah sertifikasi saja besarnya bisa jadi 5 X lipat jumlah di atas. Jadi mengapa sih harus bersusah-susah dengan jadi pengecer buku? Karena pasti banyak yang tidak suka dan yang paling penting melanggar peraturan yang ada.

19072012#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun