[caption id="attachment_203375" align="aligncenter" width="614" caption="cantik-cantik tapi main serobot, ga mau ngantri (dok.pri)"][/caption]
“Bebek saja mau antri”, seperti itulah yang sering kita lihat. Tetapi apakah budaya antri sudah bisa mendarah daging pada kita?
Apa sih sekarang yang tidak antri? Mau apa saja harus antri. Mulai dari hal yang sepele, mengantri mau beli makanan di warung sampai setor uang ke bank harus antri. Jika di warung, kita tidak perlu bawanomor antrian, lain lagi jika kita di bank. Beberapa bank sudah menyediakan kartu antrian otomatis. Kita tinggal ambil nomor antrian, selanjutnya duduk dan menunggu dipanggil. Walau masih ada juga bank yang membiarkan nasabah berdiri antri mengular di dalam ruangan yang terkadang sangat sempit.
Jika semua orang sadar akan antri dan etikanya, tidak akan jadi masalah. Kita akan sabar dan bersedia menunggu sampai giliran kita tiba. Tetapi, ada juga yang bikin kita dongkol. Di saat kita sudahantri sekian lama, tiba-tiba saja ada yang menyerobot. Pasti bikin sebel. Seperti beberapa kejadian yang saya alami.
[caption id="attachment_203376" align="aligncenter" width="300" caption="si ibu berjilbab orange, baru datang dengan enaknya langsung nitip transaksi ke orang yang di teller. nyebelinnnnnnnnnnnnn (dok.pri)"][/caption]
Pernah suatu kali saya antri di bank. Karena mendekati lebaran, maka mau tidak mau harus menunggu antrian yang panjang. Untung pakai nomor antrian, jadi sambil nunggu bisa sambil duduk. Tetapi tinggal 5 nomor giliran saya, ada ibu-ibu baru datang langsung duduk di depan teller. Dia berbasa-basi dengan orang di sampingnya. SKSD, sok kenal sok dekat. Tak berapa lama nomor antrian si ibu di sampingnya dipanggil. Dengan cueknya dia langsung menyodorkan uang beserta slip setoran sambil bilang titip ke ibu tadi. Wuahhhhhh……. Langsung tanpa dikomando, banyak yang protes. Yang bikin tambah emosi, si ibu dengan merasa tidak bersalah senyum-senyum cengengesan. Teller juga tidak tegas. Harusnya satu orang berhak atas satu transaksi, atau jika pun lebih dari satu transaksi harusnya transaksi dengan nama yang sama. Saya yang komentar agak pedas, “untung ya bu, kami yang bersedia antri dikaruniai umur panjang, jadi masih bisa dan mau antri bu.” Si ibu langsung hilang senyumnya. Gantian orang-orang yang menunggu antrian cengar-cengir. Ehhhhh, ga berapa lama ada bapak-bapak duduk di dekat saya. Mengajak berbasa-basi, lalu tanya, "mbak nomor berapa?" Saya jawab setelah ini pak. Dianya tanya, boleh nitip ga? Saya masih 30 antrian lagi. Langsung saja tolak, "Maaf pak. Di belakang nomor saya dan di depan bapak itu yang antri banyak. Kasihan mereka." Si bapak memelas dan memohon, saya jawab. "Pak, jika bapak memang hendak cepat, dan tidak lagi punya waktu. Silahkan hubungi customer service, mungkin bapak akan ditolong." Si bapak langsung ngeloyor pergi.
Ada lagi tadi, saat menganti di kasir di sebuah pusat perbelanjaan. Antrian tinggal satu orang di depan saya. Tiba-tiba orang di depan saya itu didatangi teman-temannya. Nitip bertransaksi. Jadilah saya mengelus dada. Aduh, mbak… Cantik-cantik kok main serobot. Tidak kasihan kah dengan orang yang sedari tadi menunggu antrian mengular di depan kasir?
Dari dua contoh di atas, ternyata budaya antri belum begitu dihargai di negeri ini. Masih banyak orang yang semaunya saja. Tidak ada rasa tepo selira, seperti yang dulu pernah kita pelajari saat sekolah. Pelajaran P4 dengan segala kontroversinya mengajarkan agar kita menghargai sesama. Disadari atautidak, rasa tenggang rasa itu harusnya memang dipupuk sejak dini. Entahlah, ibu-ibu dan mbak-mbak yang suka main serobot itu atau memang tidak pernah menerima pelajaran itu atau memang makhluk dari angkasa luar.
Marilah kita budayakan antri. Semua orang memang ingin cepat, tapi haruskah kita melukai orang lain? Masak kita kalah dengan bebek? Malu ah.
01092012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H