[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="(robinxis.blogspot.com)"][/caption] Ada ayah dari teman yang menderita stroke dan dirawat di rumah sakit pemerintah. Setelah kesehatannya mulai membaik, beliau diijinkan untuk pulang. Segala tetek bengek administrasi harus diurus sebelum keluar dari rumah sakit. Dari sinilah akhirnya si anak-teman saya-mencurigai telah terjadi penipuan terhadap pasien.
Teman saya menerima berkas yang berisi perincian biaya yang harus dibayar. Dia membayar di bank yang membuka cabang di rumah sakit tersebut biaya sesuai yang tertulis di situ sebesar dua juta delapan ratus ribu rupiah, itu tidak termasuk biaya obat karena obat-obatan langsung dibayar di apotik. Setelah itu dia kembali ke kamar dan menyerahkan bukti pembayaran ke bagian administrasi rawat inap. Merasa urusan sudah beres, dia akhirnya mengajak ayahnya untuk keluar dari kamar rawat inap.
Tetapi saat berjalan beberapa langkah, dia dipanggil oleh salah satu pegawai di situ. Pegawai tersebut menjelaskan bahwa ada kekurangan pembayaran sejumlah dua ratus lima puluh ribu rupiah. Teman saya lalu meminta berkasnya dan akan membayarnya di kantor kas dimana dia tadi membayar. Tetapi si pegawai menolak, katanya, itu pembayaran karena meminjam obat dari rawat inap.
Teman saya mencoba memakluminya dan meminta kuitansi pembayaran, lagi-lagi pegawai menolak dan tetap ngotot kalau pembayaran kurang karena meminjam obat dari ruang rawat inap. Lalu teman saya meminta dibuatkan resep, nanti obat yang dipinjam dibelikan di apotik dan diberikan ke mereka, tetapi mereka kembali menolak.
Teman saya naik pitam. “Maksudnya apa? Berarti rawat inap ini menjual obat?”
Pegawai tersebut bilang tidak. Lalu teman saya bertanya lagi, “Berarti di sini menyediakan obat? Kalau memang menyediakan obat, berarti saya bisa meminta tanda bukti pembayarannya atau tanda terima. Kalau benar kami berhutang obat, kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin? Harusnya kan masuk resep?”
Pegawai tersebut tidak bisa menjawab, tapi malah mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak pantas. Karena tidak mau ribut-ribut serta ayahnya harus segera istirahat, akhirnya dia merelakan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah itu untuk mereka sambil berkata, “Anda tidak akan pernah kaya dengan cara seperti ini, uang yang didapatkan dari penderitaan orang lain.”
***
*Saya tulis persis seperti yang diceritakan teman kantor saya Pak S. Alkhamdulillah, kesehatan ayahnya membaik dan tidak perlu kembali ke rumah sakit tersebut.
13032011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H