Mohon tunggu...
khusnulkhotimah
khusnulkhotimah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S2 PAUD Universitas Negeri Surabaya

Hobi menulis dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Kognitif Anak Usia Dini dengan Pendekatan Experiential Learning

25 Desember 2024   19:17 Diperbarui: 25 Desember 2024   19:17 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam dunia pendidikan anak usia dini, metode pembelajaran berbasis pengalaman, yang dikenal sebagai experiential learning, terbukti menjadi cara yang sangat efektif untuk meningkatkan proses belajar. Metode ini memungkinkan anak-anak untuk lebih memahami konsep-konsep abstrak, sekaligus mengembangkan keterampilan interpersonal serta melatih keragaman, empati, dan kepemimpinan. Experiential Learning diperkenalkan oleh David Kolb pada awal 1980-an dan menjadi dasar dari Experiential Learning Theory (ELT). ELT adalah sebuah kerangka psikologi pendidikan yang menyoroti pentingnya pengalaman dalam proses pembelajaran. Menurut Kolb, terdapat empat tahap dalam siklus pembelajaran: Pengalaman Konkret (CE), Pengamatan Reflektif (RO), Konseptualisasi Abstrak (AC), dan Eksperimentasi Aktif (AE) (Kolb, 1984). (Suryaningsih 2024) Dengan memberi anak-anak kesempatan untuk belajar melalui pengalaman langsung, mereka akan lebih aktif dan terlibat, yang pada gilirannya mempercepat pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Saat anak-anak merasakan manfaat dan relevansi dari apa yang mereka pelajari, semangat dan motivasi mereka untuk belajar akan meningkat.(Iswinarti et al. 2020) Metode pembelajaran berbasis pengalaman tidak hanya memperkuat pengetahuan anak, tetapi juga berkontribusi dalam pembentukan karakter mereka, seperti meningkatkan rasa percaya diri, kemampuan beradaptasi, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, penerapan experiential learning dalam pendidikan anak usia dini sangat krusial untuk melahirkan generasi yang inovatif, kreatif, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.(Maisyaroh, Sabri, and Kartono 2018)

Konsep experiential learning menekankan pembelajaran melalui pengalaman langsung. Dengan terlibat dalam situasi nyata, anak-anak tidak hanya memahami teori yang diajarkan di kelas, tetapi juga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.(Zamista 2020) Pendekatan ini meningkatkan keinginan anak-anak untuk belajar dan mendorong rasa ingin tahu mereka. Ketika anak-anak belajar dalam konteks yang nyata, mereka juga menyerap nilai-nilai seperti kerja sama, ketekunan, dan tanggung jawab. Teori experiential learning berakar pada filosofi dan epistemologi yang berbeda dari teori pembelajaran behavioris dan pendekatan pendidikan idealis. Epistemologi ini berlandaskan pada keyakinan bahwa terdapat elemen-elemen kesadaran mental, yang dalam istilah Locke dikenal sebagai "ide-ide sederhana. " Kombinasi dan asosiasi dari elemen-elemen tersebut membentuk pola pikir yang beragam. Pendekatan ini mempengaruhi cara kita mendefinisikan pembelajaran, mengedepankan hasil belajar, baik itu pengetahuan yang diperoleh maupun kebiasaan yang merupakan respons perilaku terhadap stimulus tertentu. Jika ide-ide dipandang sebagai tetap dan tidak dapat diubah, kita bisa mengukur sejauh mana seseorang telah belajar berdasarkan jumlah ide-ide yang telah terkumpul (Made et al., 2024).

Teori pembelajaran eksperimental memberikan perspektif yang berbeda tentang proses belajar, yang didasarkan pada epistemologi empiris. Ini kontras dengan pendekatan pendidikan tradisional yang umumnya berakar pada epistemologi rasional-idealis. Dari sudut pandang ini muncul berbagai temuan baru terkait dengan pelaksanaan pendidikan, serta hubungan yang relevan antara pembelajaran, pekerjaan, dan aktivitas kehidupan lainnya, termasuk proses penciptaan pengetahuan. Istilah 'pembelajaran eksperimental' digunakan karena dua alasan utama. Pertama, istilah ini jelas mengaitkan teori ini dengan dua tokoh penting, yaitu Dewey, Lewin, dan Piaget, yang menjadi pondasi intelektualnya. Kedua, istilah ini menekankan peran sentral pengalaman dalam proses pembelajaran. Hal ini menjadi salah satu perbedaan utama antara teori pembelajaran eksperimental dan pendekatan rasionalis serta kognitif lainnya, yang cenderung lebih fokus pada akuisisi dan pengingatan simbol-simbol abstrak. Selain itu, teori ini juga berbeda dengan teori pembelajaran perilaku yang menolak peran kesadaran dan pengalaman subjektif dalam proses belajar.(Beard 2022)

Menurut Piaget, dimensi pengalaman, konsep, refleksi, dan tindakan membentuk dasar untuk perkembangan pemikiran dewasa. Perkembangan individu dari masa bayi hingga dewasa bergerak dari pemahaman fenomenal yang konkret tentang dunia menuju perspektif konstruktivis yang lebih abstrak; dari pola pikir egosentris yang aktif menjadi cara berpikir yang terinternalisasi dan reflektif.(Evans 2021) Piaget berpendapat bahwa perjalanan ini juga menjadi arah utama dalam perkembangan pengetahuan ilmiah. Pembelajaran berbasis pengalaman sangat relevan bagi anak-anak di usia dini, terutama dalam perkembangan kognitif mereka. Proses pembelajaran yang melibatkan pengalaman konkret memberi kesempatan kepada anak-anak untuk berinteraksi dengan lingkungan, menemukan pengetahuan baru, dan membangun pemahaman berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Dengan demikian, pembelajaran berbasis pengalaman memberikan landasan yang kuat untuk perkembangan intelektual dan keterampilan berpikir anak-anak selama tahap-tahap awal pertumbuhan mereka. Pendekatan ini sangat penting untuk merangsang berbagai aspek perkembangan kognitif anak-anak yang masih sangat muda (Kolb, 1984).

Ada beberapa korelasi antara pembelajaran pengalaman dan perkembangan kognitif anak usia dini: a). pengembangan pemahaman konsep, Anak-anak memperoleh pemahaman lebih baik tentang konsep dasar melalui experiental learning. Misalnya, ketika mereka bermain dengan blok bangunan atau bahan konstruksi lainnya, mereka tidak hanya belajar tentang bentuk dan ukuran blok, tetapi mereka juga belajar tentang ruang, stabilitas, dan bahkan konsep matematika dasar seperti penjumlahan dan pengurangan. Pembelajaran berbasis pengalaman memungkinkan anak untuk mengaitkan apa yang mereka ketahui dengan keadaan dunia nyata, yang menghasilkan pemahaman yang lebih baik daripada hanya menghafal informasi. b). Keterampilan sosial dan kognitif, Pembelajaran berbasis pengalaman berperan penting dalam mendukung perkembangan keterampilan sosial yang pada gilirannya memengaruhi perkembangan kognitif anak. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, anak-anak sering kali berinteraksi dengan teman sebaya maupun orang dewasa. Interaksi ini tidak hanya memperkuat keterampilan sosial mereka, tetapi juga memperkaya pengalaman kognitif yang mereka miliki. Sebagai contoh, melalui aktivitas kelompok seperti permainan konstruksi atau diskusi tentang cerita, anak-anak belajar untuk berbagi ide, bernegosiasi, dan menyelesaikan konflik. Proses ini secara signifikan memperdalam pemahaman mereka mengenai konsep sosial dan kognitif, termasuk kerjasama, komunikasi, dan empati. c). Perkembangan berpikir kritis dan analitis, Salah satu keuntungan utama dari experiential learning adalah kemampuannya untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis pada anak-anak. Melalui pengalaman langsung dan refleksi terhadap pengalaman tersebut, anak-anak belajar untuk menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah, dan menemukan solusi. Misalnya, dalam permainan sains atau eksperimen sederhana, anak-anak diajak untuk merumuskan pertanyaan, menguji hipotesis, dan mengevaluasi hasil. Proses ini tidak hanya melibatkan pengetahuan ilmiah tetapi juga pengembangan keterampilan berpikir kritis yang penting bagi perkembangan kognitif mereka.

Experiential Learning sangat penting bagi perkembangan kognitif anak usia dini, karena memberikan anak kesempatan untuk belajar melalui pengalaman langsung. Metode pembelajaran yang aktif dan berbasis pengalaman ini tidak hanya memperkaya pengetahuan anak, tetapi juga membantu mereka mengembangkan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas serta kemampuan yang akan berguna sepanjang hidup mereka. Dalam konteks ini, pembelajaran yang dirancang dengan baik, yang menggabungkan eksplorasi dan pengalaman praktis, akan mendukung perkembangan kognitif anak secara optimal. Pengembangan kemampuan kognitif pada anak usia dini sangat dipengaruhi oleh cara anak belajar dan berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Experiential learning, atau pembelajaran berbasis pengalaman, memberikan landasan yang kokoh dalam mengoptimalkan potensi kognitif anak-anak melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan yang melibatkan indra, eksplorasi, dan refleksi. Dalam tahap perkembangan ini, pengalaman langsung yang mereka jalani memungkinkan pemahaman konsep-konsep dasar secara lebih mendalam dan konkret. Beragam pengalaman, seperti bermain dengan alat peraga, menjelajahi alam, atau berpartisipasi dalam aktivitas kreatif seperti seni dan musik, membantu anak-anak mengembangkan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Melalui pendekatan experiential learning, mereka tidak sekadar menghafal informasi, tetapi membangun pemahaman yang lebih solid melalui interaksi langsung dengan materi yang dipelajari. Keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran berbasis pengalaman juga berkontribusi pada perkembangan keterampilan sosial dan emosional anak, yang sangat berkaitan dengan aspek kognitif mereka. Dengan demikian, experiential learning tidak hanya memperpenekaya pengetahuan dan keterampilan anak-anak, tetapi juga merangsang kemampuan mereka untuk berpikir logis, mengambil keputusan, serta menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, experiential learning memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan mengembangkan kemampuan kognitif pada anak usia dini. Metode ini memberikan ruang bagi anak-anak untuk belajar melalui pengalaman nyata, yang pada gilirannya memperkuat proses pemahaman dan integrasi pengetahuan dalam otak mereka.(W. W. Rahayu, Maulani, and Patimah 2024)

Dalam pengembangan kognitif pada anak usia dini menggunakan pendekatan Experiential learning dapat dilakukan melalui pengenalan konsep bilangan yang mana dalam implementasinya anak diajak untuk menyebutkan dan menunjukkan bilangan angka 1-10 menggunakan metode proyek yang mana peserta didik mampu menyebutkan benda secara langsung serta membilang benda tersebut sesuai jumlahnya 1-10, mengenalkan lambing bilangan, menghubungkan konsep bilangan dengan lambing bilangan, mengurutkan benda sesuai bilangannya serta membedakan dan membuat Kumpulan benda sesuai dengan jumlahnya menggunakan media yang terkait dengan tema saat itu menggunakan pendekatan experiential learning. Hal ini sangat sesuai dengan pendekatan bermain proyek yang mana anak belajar berdasarkan pengalaman sehingga anak cepat dalam berfikir dan mampu memberikan serangkaian situasi belajar yang melibatkan anak sehingga anak mendapatkan pengalaman yang lebih banyak. (A. F. Rahayu, Syaodih, and Romadona 2019) kegiatan tersebut juga sesuai dengan teori Dabid A.Kolb yang memberikan Gambaran bahwa experiential Learning merupakan pembelajaran berdasarkan kombinasi pengalaman dan mentransformasi pengalaman, karena apa yang dilihat anak secara real / nyata akan berdampak pada imajinasinya dan perkembangan kognitifnya. (Latif and Sirait, n.d.) memberikan kebebasan keapada anak dalam melakukan kegiatan bermain dan belajar menggunakan metode experiential learning juga dapat dilakukan untuk mengembangkan perkembangan kognitif anak.

Adapun hal yang harus dilakukan oleh pendidik dalam meningkatkan kognitif anak melalui pendekatan experiential learning melalui pengenalan konsep bilangan yakni : guru / pendidik hendaknya tidak menggunakan lembar kerja / paper pencil dan alat tulis sebagai media belajar, pendidik menyiapkan benda konkret yang menarik, aman dan mudah di gunakan dalam kegiatan pembelajarannya.(A. F. Rahayu, Syaodih, and Romadona 2019) selain itu, guru dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator yang berperan untuk menggali pengalaman anak. Selain sebagai fasilitator, guru juga hendaknya membangun komunikasi yang baik terhadap anak serta menyediakan lingkungan belajar yang menstimulus perkembangan anak. (Latif and Sirait, n.d.)

Experiential learning sangat relevan dan cocok di implementasikan pada pendidikan anak usia dini di Indonesia karena kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran experiential learning ini membebaskan anak untuk belajar apapun sesuai dengan keinginan anak. (Latif and Sirait, n.d.)

Beard, Colin. 2022. Experiential Learning Design: Theoretical Foundations and Effective Principles. Routledge. https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781003030867/experiential-learning-design-colin-beard.

Evans, Norman. 2021. Experiential Learning: Assessment and Accreditation. Routledge. https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781003160908/experiential-learning-norman-evans.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun