Mohon tunggu...
Khusnul Khotimah
Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas palangka raya

Young Econom

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nostalgia Sanering: Mengapa Indonesia Tak Punya Uang Rp 1 Juta?

1 November 2024   09:10 Diperbarui: 1 November 2024   09:17 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Dulu uang Rp1.000 dipotong jadi Rp1..." Mungkin Anda pernah mendengar cerita ini dari orangtua atau kakek-nenek. 

Ya, ini adalah kisah nyata yang terjadi pada tahun 1965, ketika nilai uang Indonesia dipotong hingga seperseribunya. 

Akibat inflasi yang tak terkendali, pemerintah terpaksa mengeluarkan jurus pamungkas bernama Sanering (Tindakan Moneter II) pada 13 Desember 1965. Langkah ini diharapkan bisa mengurangi uang yang beredar dan menjinakkan hyperinflasi yang mengkhawatirkan. Namun hasilnya mengecewakan, target untuk melunasi hutang ke Bank Indonesia dan mengurangi jumlah uang beredar tidak tercapai." 

Empat dekade kemudian, Indonesia kembali diuji. Krisis moneter 1998 membawa pelajaran berharga lainnya. Menurut data Asian Development Bank, rupiah anjlok dramatis dari Rp2.432 per dolar AS pada Juni 1997 menjadi Rp14.900 pada Juni 1998. Inflasi melonjak hingga 77,63%, dan PDB riil menyusut 13,1% (Statistics Indonesia, 2000). Dr. Thee Kian Wie, ekonom senior LIPI, dalam bukunya "Indonesia's Economy Since Independence" (2012) mencatat bahwa trauma ini membentuk pendekatan konservatif Bank Indonesia dalam manajemen mata uang hingga hari ini.

Lalu mengapa sekarang, di era serba digital, Indonesia masih "trauma" untuk mencetak uang pecahan Rp1 juta? 

Jerman 1923 menjadi contoh klasik kehancuran ekonomi akibat pencetakan uang denominasi besar. Mereka mencetak uang hingga 100 triliun Mark! Hasilnya? Hiperinflasi yang membuat harga sebungkus roti melonjak dari 1 Mark menjadi 100 miliar Mark. Gaji sebulan hanya cukup untuk membeli sebutir telur.

Bank Indonesia memiliki alasan kuat untuk tidak menerbitkan pecahan besar. Laporan Departemen Pengelolaan Uang BI (2022) mengidentifikasi bahwa pecahan besar meningkatkan risiko pemalsuan dan berpotensi disalahgunakan untuk transaksi ilegal. Selain itu, penanganan uang tunai denominasi besar justru bisa menambah kompleksitas sistem keuangan.

Data terbaru menunjukkan perubahan dramatis dalam perilaku pembayaran masyarakat Indonesia. Volume transaksi digital tumbuh 41,3% pada 2023, dengan pengguna pembayaran mobile mencapai 183,5 juta di 2022. Yang lebih mengesankan, transaksi QRIS telah menembus Rp37,8 triliun di kuartal terakhir 2022 (Bank Indonesia, 2023).

Sejarah ekonomi dunia juga menyimpan pelajaran berharga tentang bahaya pencetakan uang denominasi besar. Bundesbank (2019) mencatat bagaimana Jerman 1923 mengalami hiperinflasi mencapai 29.500%, memaksa pencetakan uang hingga 100 triliun Mark yang berujung pada kehancuran ekonomi total. Kasus serupa terjadi di Zimbabwe 2008, dimana IMF melaporkan inflasi fantastis 79,6 miliar persen, yang memaksa penerbitan uang Z$100 triliun dan akhirnya membuat negara tersebut harus meninggalkan mata uang nasionalnya.

Alih-alih mengulang kesalahan masa lalu, Indonesia memilih jalan digitalisasi. Bank Indonesia (2023) berhasil menjaga rata-rata inflasi di level 3,2% selama periode 2019-2023, dengan target inflasi saat ini di 2,5% 1%. Kerangka kebijakan moneter yang menekankan stabilitas harga terbukti efektif dalam menjaga kesehatan ekonomi nasional.

Ketiadaan pecahan Rp1 juta bukanlah kebetulan atau keterbelakangan, melainkan hasil pembelajaran panjang dari sejarah moneter Indonesia. Di era digital ini, fokus seharusnya bukan pada pencetakan uang denominasi besar, tetapi pada pengembangan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan terpercaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun