Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Meneladani Kisah Bu Suci Figur Guru dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini

24 November 2023   15:37 Diperbarui: 15 Januari 2024   13:11 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi novel Pertemuan Dua Hati (dokpri)

Pertama kali saya menemukan dan membaca buku ini saat kelas 3 SMP sekitar 15 tahun yang lalu. Waktu itu saya berkesempatan mengikuti lomba menulis sinopsis dan menceritakan kembali isi novel tersebut.

Novel ini memiliki kenangan tersendiri bagi saya. Lika-liku di dunia pendidikan sebagai seorang pendidik yang saya alami seringkali mengingatkan buku ini terutama pada sosok Bu Suci dan Waskito.

Pada tulisan kali ini saya akan mencoba mengulas relevansi kisah dalam buku ini dengan salah satu topik pilihan di kompasiana yaitu “kolaborasi antara orang tua dan guru, mengapa belum terjalin optimal?”.

Meskipun buku ini sudah terbit terbilang lama yakni pada tahun 1986, namun novel karya Nh. Dini ini menyuguhkan contoh permasalahan siswa yang hingga kini masih kerap terjadi di lingkungan sekolah.

Sekilas Kisah Pertemuan Dua Hati

Pertemuan dua hati ini bukanlah pertemuan antara dua sejoli yang sedang memadu kasih, melainkan kisah antara guru dan murid yaitu Bu Suci dan Waskito.

Waskito adalah seorang “murid yang sukar” sehingga ia tidak disukai teman-temannya di sekolah. Waskito sering membolos, sering memukuli teman-temannya, dan sering membuat onar di kelas/sekolah. Akan tetapi, berkat keuletan Bu Suci, akhirnya si “anak sukar” itu berhasil dibimbing ke arah yang benar.

Perjuangan Bu Suci menaklukan hati Waskito tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pernah Bu Suci mendatangi kediaman kakek dan nenek Waskito untuk menggali segala hal informasi yang melatarbelakangi terbentuknya perilaku negatif anak tersebut.

Singkat cerita, Bu Suci pun mendapatkan informasi bahwa sebenarnya Waskito adalah anak yang baik. Perilaku negatif yang nampak sekarang ini adalah bentuk pola asuh kedua orang tuanya yang kurang tepat. Ayahnya seringkali memukul Waskito tanpa alasan yang jelas jika sang anak melakukan suatu kesalahan tanpa memberikan pengarahan yang tepat. Sementara sang ibu, kerap kali memanjakan Waskito sehingga anak tersebut tidak pernah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Pada akhirnya, Waskito menjadi anak yang “nakal”.

Sebelumnya, Waskito pernah tinggal juga bersama nenek dan kakeknya hingga suatu hari kedua orang tuanya menjemput kembali untuk tinggal bersama mereka lagi.

Waktu terus berjalan, Bu Suci melakukan pendekatan dengan anak ini. Pernah suatu waktu, Bu Suci meminta tolong Waskito untuk mengantarkan makanan kepada anaknya yang sedang sakit. Bu Suci menyampaikan bahwa bersyukurlah Waskito karena memiliki raga yang sehat sehingga tidak perlu melakukan hal-hal yang tidak berguna bahkan hal-hal yang merugikan.

Tidak hanya itu, Bu Suci juga pernah memberikan penugasan kepada Waskito dan teman-temannya dalam satu kelompok hingga pekerjaan mereka mendapat penghargaan dari teman-temannya. Bu Suci berharap Waskito memikirkan bahwa eksistensinya diakui oleh bu guru dan teman-temannya. Karena selama ini Waskito adalah sosok “biang onar” di mata teman-temannya. Oleh karena itu, Bu Suci berusaha keras agar hal itu musnah dan mengembalikan kepercayaan Waskito bahwa dia dibutuhkan dan diinginkan oleh teman-temannya.

Kini, Waskito tinggal bersama bibinya. Walaupun keadaan perekonomian bibinya bisa dibilang sulit, namun Waskito mendapatkan pelajaran tentang kasih sayang bersama keluarga ini. Bersama bibi dan keluarga, Waskito merasa senang karena kerukunan selalu terpancar walau kadang kala harus berbagi makanan. Di sana dia mendapat pengajaran tentang sopan santun dan kasih sayang. Ibu Suci merasa lega dengan semua perubahan yang mulai Waskito tunjukkan.

Namun suatu hari, Waskito kembali mengamuk lantaran ada salah satu teman yang menghina karyanya padahal maksud temannya hanyalah gurauan. Waskito sampai membawa cutter yang diacuhkan ke udara, namun Bu Suci merampasnya saat Waskito lengah dan tidak peduli hal buruk terjadi padanya.

Pada akhirnya, semua guru sepakat agar Waskito dikeluarkan karena perilaku anak tersebut yang keterlaluan. Namun, Bu Suci dengan segenap hati meminta agar diberi waktu untuk membimbing Waskito, jika gagal jabatannya sebagai guru rela jika harus dicabut. Bu Suci meyakini bahwa Waskito akan berubah menjadi anak yang baik.

Sejak saat itu, Bu Suci dan Waskito semakin dekat hingga akhirnya sedikit demi sedikit Waskito mau berbagi cerita dan mau menerima nasihat dari Bu Suci.

Akhir semester tiba, Waskito naik kelas dan keluarga sangat berterimakasih karena tidak menyangka Waskito dapat mengubah perilakunya bahkan hingga naik kelas.

Waskito dan keluarga Bu Suci pun berlibur ke desa mereka Purwodadi sesuai dengan janjinya kepada Waskito tempo lalu. Sejak bertemu dengan Waskito, Bu Suci merasa hatinya telah dipertemukan dengan hati Waskito.

Pentingnya Memperkuat Koneksi Guru, Orang Tua, dan Anak

Kisah novel di atas mengangkat kisah seorang guru yang mempunyai prinsip untuk selalu menjunjung tinggi pekerjaan sebagai seorang guru menjadi pekerjaan yang patut untuk diteladani. Peran Bu Suci dalam novel ini sebagai fasilitator untuk membimbing murid-muridnya ke jalan yang benar.

Beberapa kejadian saat ini yang saya temui, masih ada guru yang seolah cuek terhadap permasalahan yang sedang dialami peserta didiknya. Padahal bentuk kepedulian seorang guru terhadap murid adalah salah satu implementasi keprofesionalannya.

Yang tidak kalah pentingnya, dalam novel ini berkisah betapa pentingnya pola asuh yang baik untuk anaknya.

Dampak dari pola pengasuhan menurut (Dalimonte-Mercling, 2016) yaitu :

1) Pola asuh demokratis ini memungkinkan anak memiliki kepribadian seimbang, membuat keputusan secara mandiri, disiplin melalui komunikasi yang baik, memiliki kepercayaan diri, kreatif, dan bahagia secara mental. Diyakini bahwa ciri-ciri ini adalah kunci kesuksesan anak di masa depan.

2) Pola asuh otoriter akan menyebabkan anak menjadi mudah emosi, hubungan anak akan menjadi tidak baik apabila bertemu dengan orang lain dan di kemudian hari anak cenderung memiliki perilaku yang otoriter.

3) Pola asuh permisif yang diterima akan menciptakan ciri-ciri anak yang terbuka tumbuh secara kreatif karena mereka terbiasa bebas dari keramaiannya sendiri. Namun, anak yang tidak dibiasakan dengan batasan cenderung akan menjadi anak yang terikat ke depannya. Hal ini menyebabkan anak menjadi kurang motivasi untuk belajar, sengan lingkungannya anak susah untuk beradaptasi, banyak menuntut, menjadi egois, dan cenderung memberontak.

Berdasarkan pada pengalaman saya ketika diamanahi menjadi seorang wali murid dan dihadapkan pada berbagai permasalahan peserta didik, ternyata banyak pula faktor penyebab dari pola asuh tersebut. Beberapa faktor penyebab tersebut diantaranya latar belakang pendidikan orang tua, perceraian orang tua, kondisi ekonomi orang tua, kesibukan orang tua, dan sebagainya.

Oleh karena itu, sebagai seorang pendidik, saya membutuhkan jalinan relasi yang baik antara saya dengan para orang tua. Perlunya peningkatan kolaborasi antara orang tua dan guru agar anak berkembang dengan baik dari segi akademis, mental serta karakter interpersonal terhadap orang lain. Bahkan untuk pencegahan terjadinya perundungan.

Keberhasilan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler sekolah tidak terlepas pula dari tanggung jawab orang tua. Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan utama persekolah yang dilakukan dengan menggunakan alokasi waktu yang telah ditentukan dalam struktur program. Kegiatan ini dilakukan guru dan peserta didik dalam jam-jam pelajaran setiap hari. Contoh dari kegiatan intrakurikuler meliputi kegiatan pembelajaran di dalam kelas, wawasan kebangsaan, piket membersihkan kelas, upacara hari senin dan hari besar nasional, kegiatan senam pagi, serta kegiatan peribadatan.

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan non-pelajaran formal yang dilakukan peserta didik sekolah umumnya di luar jam belajar. Beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler meliputi kepramukaan, Palang Merah Remaja (PMI), Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), Karya Ilmiah, dan masih banyak lagi.

Dengan demikian, diharapkan kolaborasi antara orang tua dan guru terjalin optimal untuk mencapai keberhasilan dalam setiap kegiatan pendidikan.

Intensitas pertemuan tatap muka guru dan orang tua secara formal bisa dibilang hanya 2 sampai 3 kali dalam satu tahun ajaran misalnya pengambilan rapor tiap semester dan rapat komite wali murid. 

Dalam pengambilan rapor itu pun masih ada yang diwakilkan bukan langsung oleh salah satu orang tua. Padahal, bagi seorang wali kelas saat pembagian rapor, pentingnya bertemu dengan wali murid yaitu wali anak atau orang tua kandung yang tidak diwakilkan oleh orang lain. 

Pada momen ini bukan hanya sekadar menginformasikan nilai kognitif hasil belajar anak selama satu semester tetapi juga meliputi afektif serta psikomotorik anak selama ini. Jika ditemukan suatu masalah pada anak maka wali kelas dapat mengonfirmasi dan mengklarifikasi langsung dengan orang tua bersangkutan. Dengan demikian dapat mendiskusikan bersama-sama solusinya.

Sebagai orang tua, dalam pengambilan rapor sepatutnya menanyakan kepada wali kelas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan anaknya di sekolah. Pertanyaan tersebut meliputi nilai rapor, keaktifan dan partisipasi saat belajar di kelas, kemampuan anak bersosialisasi, hobi dan potensi anak di sekolah, kesopanan anak pada guru dan teman-temannya, bahkan apabila terjadi perubahan aneh pada diri anak biasanya wali kelas yang peka. Informasi tersebut bisa membantu orang tua untuk membangun komunikasi dengan anak dan disinilah momen dukungan serta saran dari wali kelas disampaikan.

Kurangnya komunikasi dan gengsi antara orang tua dengan guru dapat memicu terjadinya miskomunikasi bahkan perundungan pada anak. Perundungan adalah segala tindakan yang merugikan peserta didik yang dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang dengan cara mengganggu korbannya atau mengusik secara terus menerus. Sebagai contoh melakukan intimidasi, penghinaan, pemalakan, pemukulan, penindas atau pengganggu orang lain yang lebih lemah sehingga korban terluka atau depresi. Dengan demikian, dampak perundungan pun perlu diwaspadai dan berharap tidak terjadi.

Sikap kolaboratif antara guru dan orang tua bisa diciptakan contohnya melalui piranti aplikasi layanan perpesanan instan seperti membuat grup WhatsApp antara wali kelas dengan wali murid. Dalam grup tersebut perlunya obrolan penting antara guru dengan orang tua sebagai wujud proses bekerja sama untuk menelurkan gagasan atau ide dan menyelesaikan masalah secara bersama-sama menuju visi bersama.

Ada pula wali murid yang memiliki banyak grup WhatsApp seperti grup antar wali murid, grup antara guru mata pelajaran dengan orang tua, grup ekstrakurikuler anak, dan bahkan masih ada banyak lagi. Hal tersebut semata-mata agar orang tua juga turut memantau perkembangan anak.

Pada zaman yang semakin maju ini, bahkan guru dan orang tua bisa melakukan pertemuan dalam jaringan misalnya berbantuan aplikasi zoom atau google meet. Misal ada keterbatasan sarana, bisa memanfaatkan yang ada saat ini saja yang dapat dijangkau oleh orang tua agar komunikasi tetap terjalin optimal. Jangan sampai masih ditemukan tipikal orang tua yang pasrah saja ke gurunya

Sebagai orang tua, jangan sampai predikat “anak nakal” dan “anak manja” tersemat pada anak. Oleh karena itu, peranan orang tua dalam hal ini adalah wali murid sebagai rekan guru dalam mendidik anak-anak tidak dapat disepelekan.

Guru dan orang tua manusia juga. Mereka memiliki potensi keliru dalam berpikir. Dengan demikian, guru dan orang tua harus saling melengkapi dan berkolaborasi. Antara guru dan orang tua timbul rasa saling percaya, saling membantu, saling memahami dan bekerja sama untuk ikut andil dalam meningkatkan motivasi belajar peserta didik dan mencapai tujuan bersama.

Kembali lagi saya ke pembahasan novel Pertemuan dua hati. Meskipun di era yang berbeda, latar yang berbeda, serta jeda tahun yang cukup lama, nilai-nilai dalam novel ini masih berlaku untuk diterapkan sekarang ini. Figur Bu Suci sebagai pribadi guru yang santun, respek terhadap siswa, jujur, ikhlas dan dapat diteladani mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan para muridnya.

Selamat menyambut Hari Guru Nasional 2023 untuk para guru di seluruh Indonesia. Terima kasih guru, telah menjadi penjaga api cahaya ilmu di tengah gelapnya kebodohan. Semoga kebahagiaan dan kesehatan senantiasa menyertai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun