Fenomena politis ini dibuktikan dengan kegagalan pencapaian kesepakatan konferensi UNFCCC COP-25 pada bulan Desember 2019 di Madrid, ketika menanggapi keadaan darurat krisis iklim, karena perbedaan utama antara negara-negara yang terbukti sulit diselesaikan.
Bagi negara yang tidak punya posisi tawar politik, issue krisis perubahan iklim menjadi tidak prioritas dibanding krusialnya masalah dalam negerinya untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan berbagai strategi survivalnya.
Sejatinya "Sang Penguasa Alam" memang memberi manusia rasa takut dengan berbagai latar penyebabnya. Bahkan takutnya "Orang-orang besar" itu relatif beragam dan cukup mengerikan saat mengkritisi soal krisis lingkungan, kehancuran bumi hingga planet sekalipun.
Akan tetapi, rasa takutnya bagi "orang-orang kecil dengan segala keterbatasannya", cenderung tidak peduli andai bumi ini mau runtuh atau kebakaran sekalipun, tetapi takutnya mereka cuma "soal lapar dan dikejar-kejar hutang".
Pada akhirnya, mengelola hati dan pikiran serta berbuat baik dan berbagi kepada siapa saja, dalam status dan posisi apapun, dengan meyakini janji beserta skenarioNYA, untuk percaya hanya DIA yang berhak kapan memulai dan mengakhiri keberadaan BUMI ini, memanglah berat.
Salam lestari
Bahan bacaan:
- Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden
- money.kompas.com
- mongabay.co.id
- kompasiana.com/khusnul86641
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H