Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Rekening Tagihan Jokowi" Kepada "Leaders Summit on Climate"

1 Mei 2021   00:45 Diperbarui: 1 Mei 2021   00:48 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama, kemitraan global harus diperkuat. Kesepahaman dan strategi perlu dibangun di dalam mencapai net zero emission dan menuju UNFCCC COP-26 Glasgow.

Indonesia sendiri sedang mempercepat "pilot percontohan net zero emission" terbesar di dunia dengan membangun Kawasan "Indonesia Green Industrial Park" seluas 12.500 hektare di propinsi Kalimantan Utara.

Tuntutan kompensasi politik Jokowi ini, dilakukan melalui sindiran politisnya "kita harus terus melakukan aksi bersama, kemitraan global yang nyata, dan bukan saling menyalahkan, apalagi menerapkan hambatan perdagangan dengan berdalih isu lingkungan".

Sindiran politis berikutnya, dikemas dengan narasi yang bisa membuat panas telinga para pemimpin negara industry maju yang cenderung inkonsisten dengan berbagai kesepakatan yang telah disetujui dan ditandatanganinya.

"Kami sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi"

Pada dasarnya Perjanjian Paris tahun 2015 merupakan capaian yang bagus, namun dalam perkembangannya tidak berjalan mulus. Sejak dibawah kepemimpinan Donald Trump, Amerika Serikat sudah enggan terlibat dan bergerak mundur dari kesepakatan.

Ada sejumlah negara yang tidak konsisten sehingga merintangi perundingan membahas perubahan iklim untuk tidak membuahkan hasil. Menurut Stefan Rahmstorf, disebabkan kekuatan lobi industri energi fosil untuk menghambat agenda pengendalian perubahan iklim dan beserta proses kebijakan yang mengarah ke hal itu.

Profesor Fisika Lautan di Universitas Potsdam itu juga menyampaikan bahwa ada lima perusahaan minyak raksasa yang menggelontorkan uang USD 200 juta per tahun untuk memperkuat lobbi tersebut.

Mencermati dinamika perundingan para pemimpin negara ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa antara tindakan "merawat" dengan "perusakan" lingkungan bumi itu berjalan parallel bagi aktor pelaku mewakili "Pemerintah" maupun "rakyat" berdasarkan teori kausalitas.

"Demikian halnya dengan penanganan lingkungan suatu negara, akan sangat tergantung dengan situasi dan kondisi politik internalnya. Hegemoni kelompok tertentu akan terlihat dominan pengaruh politiknya, tinggal melihat aliran politik yang mana sebagai pemenangnya"  

Mental model para aktor pelaku dipengaruhi "standar politis" mereka. Sehingga, ada dugaan untuk negara industry maju, relative sulit konsisten karena mental model pemikirannya sudah terbelenggu dengan pesanan yang mewakili kolega-kolega politiknya.

Sama halnya dengan gelaran UNFCCC ini, sejatinya forum konferensi perubahan iklim ini untuk kepentingan siapa? Diduga, media politis ini menjadi sakral bagi negara industri maju semata. Mereka takut tidak lagi mampu mempertahankan stigma yang terlanjur melekat.

Secara psikologi-politis mereka takut karena menyangkut soal "membangun dan menjaga eksistensi politik-ekonomi-budaya" mewakili para elite pemerintah, pengusaha, tokoh informal yang berhubungan dengan kenyamanan dan keamanan komunitas eksklusifnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun