Yap Thiam Hien, warga keturunan Tionghoa ini, lahir di provinsi berjuluk Serambi Mekah, tepatnya Kutaraja Aceh. Seorang ahli hukum dan HAM yang sangat disegani era pemerintahan Orde Baru.
Semasa kecil, Yap bergumul dan disuguhkan praktik feodalistik perkebunan. Rekaman kehidupannya ini telah membentuk sifat dan sikap memberontak, dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.
Pendidikan tinggi dengan gelar Meester der Rechten, diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1947. Yap rela menjadi kelasi kapal yang mengangkut para tawanan perang dunia II hingga sampai di negara kincir angin untuk memulai studi.
Semenjak membuka firma hukum sendiri tahun 1970, beliau konsisten memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) untuk keadilan dan kesetaraan bagi etnis minoritas dan orang miskin.
"Selama berkiprah sebagai advokat, pernyataan beliau paling terkenal "Apa yang hendak saudara capai di pengadilan? Jika saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran, saya mau jadi pembela saudara".Â
Sangat dalam makna dibalik pernyataan itu. Yap ingin menyampaikan kepada publik, bahwa ada masalah sangat serius pada lembaga peradilan di Indonesia saat itu, yang tidak lagi berpihak pada kebenaran berdasar bukti, saksi dan fakta kejadian.
Prinsipnya dalam penanganan kasus hukum, tidak dalam rangka mencari kemenangan, tetapi menegakkan nilai-nilai kebenaran. Filosofi dalam menjalankan profesi yang digeluti inilah, yang kemudian sering menggratiskan biaya perkara kepada klien.
"Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Saudara, kata Yap suatu waktu"
Secara intelektual dan kepeduliannya soal "kemanusiaan maupun keadilan", dan semangat "membela demi kebenaran", telah mendorong keyakinan Yap Thiam Hien andil dan ambil bagian dalam pusaran peristiwa G30S PKI.
Keputusan berani dan tidak popular di masa rezim Orde Baru itu dibuktikan dengan keputusan membela mantan Wakil Perdana Menteri, Soebandrio, yang dituduh terlibat penculikan jenderal Angkatan Darat.
Naluri ke-pengacara-annya meyakini kalau Soebandrio tidak bersalah. Dalam situasi politik tidak menentu saat itu, tentu harus ada yang menjadi/dijadikan korban politik demi menguatkan dalih yang di-skenario-kan pihak tertentu.
Upayanya memang gagal, dan hakim Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 menjatuhkan putusan hukuman mati kepada Soebandrio, meski dalam upaya hukum lanjutan, diubah menjadi vonis seumur hidup.
Dalam kasus yang sarat muatan politik, dibuktikan dengan kejeliannya saat memutuskan membela Rachmat Basoeki sebagai tersangka pengeboman kantor cabang BCA di Jalan Gajah Mada dan beberapa pertokoan di kawasan Glodok jakarta.