"Memimpin adalah menderita" sebagaimana kata bijak Haji Agus Salim, seorang aktivis bidang jurnalistik sejak zaman pra hingga paska kemerdekaan Indonesia.Â
Memang, tidaklah mudah menjadi seorang pemimpin yang baik, bijak, welas asih, ngayomi, adil, dan tegas dalam suatu negara-bangsa seperti Indonesia yang pluralis ini, jika tidak dibekali kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi ragam persolan dengan dimensi multi-perspektifnya.
Dikotomi pemimpin yang berasal dari kalangan sipil atau militer. relative masih sensitive sejak berdirinya negara bangsa ini. Nuansa pergumulan politik di era pemerintahan orde lama dan orde baru, masih menjadi catatan sejarah yang sulit dihapus dalam ingatan begitu saja. Setidaknya, sejarah akan selalu mengingatkan untuk selalu berhati-hati dalam memilih seorang pemimpin yang akan menahkodai republik tercinta ini.
Fenomena perjalanan sejarah dan pengalaman politik kepemimpinan di Indonesia hingga menjelang 75 tahun kemerdekaan negara ini memang sangat dramatis.Â
Tidak mengherankan jika siapapun yang memimpin Indonesia akan dipengaruhi bayang-bayang tentang siapa yang sebenarnya menjadi pengendali dibalik layar sang Presiden.Â
Kecurigaan politik ini bahkan sudah menjadi phobia tersendiri bagi warga negara yang cukup kritis dalam menjaga marwah demokrasi sesuai konstitusi pilihan politik warga bangsa Indonesia.
Bersandar dari paparan di atas, dalam tulisan opini kali ini akan mengkritisi soal kontestasi politik tiga jenderal di bawah kendali Presiden Joko Widodo yang berasal dari warga sipil kader Partai Demokrasi Perjuangan.Â
Setidaknya dengan melakukan pengamatan kontestasi tiga jenderal beserta kolega-kolega politiknya, kita semua bisa mengantisipasinya sedini mungkin jika memang sepak terjangnya merugikan bangsa dan negara Indonesia tempat kita bernaung hidup saat ini.
Kekuatan Modal Politik
Interpretasi soal modal politik, tentunya tidak hanya berupa uang semata, tetapi mesin politik berupa partai, konstituen individu partai hingga komitmen jaringan patron klien berbentuk organisasi social dan massa yang sudah diikatnya dengan berbagai komitmen tertentu, bisa disebut sebagai modal politik. Meski demikian, kekuatan dana masih memegang peran kunci dan paling menentukan hasil akhir dalam era perpolitikan Indonesia saat ini.
Berapa kekuatan modal politik yang dimiliki para jenderal yang sedang berkontestasi ini ? tentunya sangat mudah untuk mengetahuinya karena dua dari tiga purnawirawan jenderal tersebut sudah melaporkan harta kekayaannya kepada LPHN saat diangkat sebagai menteri, dan semuanya itu bisa dilacak dalam catatan laporan terbaru yang tertera di situs Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).