Contoh kasus hukum Basar-Kholil yang mencuri satu buah Semangka. Berdasarkan hukum positif negara, mengambil barang milik orang lain tanpa seijin pemiliknya adalah sebuah tindak kejehatan pencurian. Dalam kasus Basar-Kholil ini, aparat penegak hukum, terutama kepolisian, sebagai pihak yang menerima laporan dari korban (pemilik Semangka; Darwati) bersikeras menggunakan pendekatan legal-formal, sebagaimana diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama pada pasal 363 ayat 1 No. 4.Â
Kasus pencurian semangka yang dilakukan oleh Basar-Kholil menjadi contoh nyata penerapan hukum positif di Indonesia. Meskipun perbuatan tersebut tergolong sepele dan ada upaya perdamaian, pihak kepolisian tetap melanjutkan kasus ini melalui jalur hukum formal. Mereka berpegang teguh pada pasal pencurian dalam KUHP, tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau alasan di balik tindakan Basar-Kholil.Â
Dalam proses penyidikan, berdasarkan pasal tersebut, Basar-Kholil terancam hukuman tujuh tahun. Kasus hukum Basar-Kholil, menurut polisi dalam konstruksi hukum positif Negara sebagai tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Pemberatan tersebut karena perbuatan itu dilakukan oleh lebih dari dua orang dan ada unsur pengrusakan (ayat 4 dan 5).
Proses hukum Basar-Kholil pun berlanjut, sampai ada vonis putusan hukum positif yang berlaku tetap. Dalam persidangan 15 Desember 2009, JPU membacakan tuntutan hukum atas pencurian satu semangka Basar-Kholil dengan tuntutan 2 bulan 10 hari. Namun dalam persidangan 16 Desember 2009, Pengadilan Negeri memvonis Basar-Kholil dengan hukuman 15 hari dengan masa percobaan 1 bulan.
Proses hukum berjalan sesuai prosedur, dari tahap penyidikan hingga persidangan. Akhirnya, Basar-Kholil divonis bersalah dengan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa. Namun, proses hukum ini menuai kritik karena dianggap terlalu kaku dan formal, mengabaikan aspek keadilan dan kemanusiaan.
Menurut H. L. A. Hart bahwa ciri-ciri dari aliran positivisme hukum, diantaranya; 1). Hukum hanyalah perintah penguasa, 2). Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika, 3). Analisa tentang konspesi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologi, 4). Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap, bersifat tertutup dan diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral, maupun etik.
Argument saya tentang mazhab hukum positivisme dalam hukum Indonesia; Indonesia sebagai negara hukum telah mengadopsi paham positivisme, yang menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama dan mengutamakan kepastian hukum. Konsekuensinya, penegakan hukum di negara ini cenderung kaku dan formal, lebih berorientasi pada aturan daripada substansi keadilan. Aparat penegak hukum, mulai dari polisi hingga hakim, seringkali berpaku pada undang-undang dan prosedur formal, tanpa mempertimbangkan konteks sosial. Akibatnya, sistem hukum Indonesia seringkali mengabaikan aspek keadilan substantif demi mencapai kepastian hukum.
Nama: Khusna Zahira ShofaÂ
Nim: 222111020
Kelas: HES 5A
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H