Dunia Sedang Tidak Baik-Baik Saja: Bagaimana Sebenarnya Sikap Masyarakat Terhadap Gerakan Boikot Produk Pro Israel?
Di berbagai penjuru dunia, fenomena sosial, seperti gerakan boikot terhadap produk-produk Israel semakin menggaung. Gerakan boikot merupakan aksi sederhana, seperti tidak membeli barang tertentu telah menjadi simbol solidaritas dan perlawanan dalam bentuk non kekerasan untuk rakyat Palestina. Namun, di balik gerakan ini terdapat narasi yang lebih mendalam, tidak sekadar berfokus pada aksi untuk tidak membeli produk-produk berafiliasi Israel, melainkan juga berkaitan erat dengan psikologi individu. Hal ini mencakup sikap kognitif, afektif, dan konatif, yang dapat dipahami melalui lensa teori identitas diri dan teori disonansi kognitif. Di sisi lain, dari perspektif ekonomi, gerakan boikot ini menimbulkan dampak yang serius, tidak hanya bagi Israel, tetapi juga bagi negara-negara lain yang terlibat dalam rantai afiliasi dengan Israel.
Sikap dan Motivasi di Balik Boikot
Saat menghadapi masalah, orang cenderung bersikap positif atau negatif, yang dipengaruhi oleh ketertarikan atau ketidaksukaan yang dipengaruhi oleh keyakinan individu atau kelompok terkait objek sikap tersebut. Keyakinan ini mungkin tidak selalu benar. Oleh karena itu, orang seringkali bertindak atau berperilaku sesuai dengan pikiran mereka, yang kemudian menghasilkan tindakan positif atau negatif dalam kehidupan sehari-hari mereka (Sulaiman, 2023). Dalam konteks gerakan sosial, salah satu bentuk perwujudan sikap adalah aksi boikot. Boikot mengacu pada sikap kelompok atau individu yang menolak untuk berkolaborasi sebagai bentuk protes terhadap isu-isu yang dianggap tidak seharusnya terjadi atau yang perlu diperbaiki.
Bagaimana boikot produk ini diterapkan? Bayangkan situasinya seperti ini, seseorang sedang berbelanja di supermarket, ia membutuhkan deterjen, kemudian di supermarket tersebut hanya ada dua pilihan deterjen. Ternyata selama ini deterjen yang ia pakai diketahui sebagai salah satu produk berasal dari perusahaan yang diketahui mendukung kebijakan pendudukan Israel, sementara yang lainnya adalah merek lokal Indonesia yang tidak mendukung Israel namun ia belum pernah deterjen tersebut. Dalam dirinya, muncul konflik batin. Di satu sisi, orang tersebut tertarik pada produk yang lebih familiar dan sudah menggunakannya selama bertahun-tahun. Namun di sisi lain, ada suara hati yang mengingatkan akan pentingnya mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Dalam psikologi komunikasi, sikap dipelajari untuk memahami bagaimana pesan memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari bagaimana sikap yang mencakup komponen kognitif, afektif, dan konatif memengaruhi keputusan individu tentang hal-hal tertentu, seperti berpartisipasi dalam gerakan boikot.
Yang pertama, secara kognitif (Pemikiran atau keyakinan), aspek ini mengacu pada individu yang memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang situasi atau isu tertentu. Dalam konteks ini, pemahaman mengenai kebijakan pendudukan Israel di Palestina dan peran produk-produk Israel dalam mendanai kebijakan tersebut sering kali menjadi landasan bagi individu untuk mendukung boikot. Masyarakat akan membentuk pemahamannya melalui informasi-informasi yang telah dimediasi seperti, pernyataan Mahkamah Agung PBB bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina bertentangan dengan hukum internasional.
Bagi mereka yang mendukung gerakan pemboikotan produk pro Israel, fakta bahwa Israel menerima bantuan dana yang sangat besar dari luar negeri, yaitu AS sejak tahun 1946 hingga 2023 sekitar 263 miliar USD, yang setara dengan Rp 4.268,22 triliun, dapat memperkuat keyakinan seseorang bahwa Israel memiliki dukungan ekonomi dan politik yang substansial untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak adil. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk melakukan gerakan boikot produk yang berafiliasi dengan Israel dengan harapan dapat mengurangi dukungan ekonomi terhadap negara tersebut, sebagai aksi protes terhadap kebijakan  yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) di Palestina.
Menurut survei yang dilakukan GoodStats (2024) menunjukkan bahwa 95,3% masyarakat Indonesia mengetahui tentang produk yang terafiliasi dengan Israel. Maka dari itu, komponen kognitif melibatkan bagaimana pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk media, dapat memengaruhi pandangan individu dalam membentuk sikap dan mendorong mereka untuk mengambil langkah tertentu, seperti berpartisipasi dalam aksi boikot.
Yang kedua, afektif (perasaan atau emosi), aspek ini mengacu pada emosi yang disebabkan oleh situasi atau kepercayaan tertentu. Adanya penyebaran berita di media sosial maupun massa menunjukkan bahwa kondisi di Palestina menimbulkan rasa simpati atau kemarahan selama konflik berjalan. Contohnya ketika seseorang melihat foto dan video mengenai kondisi warga Gaza yang terluka akibat serangan militer, mereka akan memiliki rasa empati dan sedih dengan penderitaan rakyat Palestina. Selain itu, perasaan empati dan simpati masyarakat global dapat tercipta dari laporan-laporan yang ditayangkan di media massa yang menyatakan bahwa konflik yang telah berubah menjadi genosida ini telah mengakibatkan bertambahnya korban jiwa bahkan per 14 November saja sudah lebih dari 11 ribu warga tewas yang terdiri dari 650 anak-anak dan 3.145 perempuan. Laporan-laporan tersebut membangkitkan rasa solidaritas masyarakat global. Dalam situasi seperti ini, media massa memiliki kemampuan untuk membangkitkan emosional audiensnya, seperti rasa simpati dan empati dengan menyebarkan narasi kemanusiaan yang mendorong aksi nyata yaitu pemboikotan.
Yang ketiga, konatif (Tindakan atau Perilaku), aspek konatif menunjukkan niat dan tindakan nyata seseorang terhadap suatu isu. Dalam hal ini, dukungan terhadap boikot diwujudkan melalui berbagai bentuk tindakan, seperti tidak membeli barang tertentu hingga aktif mendorong orang lain untuk berpartisipasi dalam gerakan boikot. Menurut survei yang dilakukan Goodstats (2024), menyatakan bahwa sebanyak 77,2% responden mengaku secara aktif melakukan boikot terhadap produk terafiliasi Israel setiap hari. Makanan dan minuman adalah produk yang paling banyak diboikot (81,5%). Keyakinan bahwa setiap kontribusi, bahkan yang kecil, dapat memiliki dampak seringkali mendorong tindakan nyata ini. Contohnya, jika seseorang memilih untuk membeli produk lokal daripada produk yang terafiliasi dengan Israel, mereka merasa telah berpartisipasi dalam gerakan global untuk memberi tekanan pada Israel. Keyakinan ini diperkuat oleh kampanye yang menampilkan daftar produk alternatif, yang memungkinkan masyarakat untuk mengambil tindakan tanpa kehilangan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, komponen konatif menjadi tahap akhir dari proses sikap, di mana pemahaman (kognitif) dan emosi (afektif) disesuaikan menjadi langkah yang nyata dalam mendukung gerakan boikot.