Foto:sumber Membayangkan mati kelaparan adalah horor. Mau makan tapi tak ada makanan. Lambung meminta diisi. Tubuh meminta darah memompa sari pati makanan. Jantung butuh energi dari napas yang bolak-balik ke paru paru yang butuh energi  untuk kembang-kempis. Hampir sejuta anak terancam mati kelapran di ujung tanduk Afrika, mereka melenguh kelaparan, napas tak kuat lagi karena tak ada intake. Mereka banyak yang kelelahan setelah mengungsi dari kekeringan dan kelaparan hebat. Lebih banyak yang  terdiam bagai onggokan di atas tanah. Tak bergerak. Sementara, bayi-bayi dalam gendongan  menyusu di payudara ibunya yang layu. Wajah bayi berkerut, tubuh menyusut. Mereka tak punya cukup energi untuk berbicara. Mereka  menempuh perjalanan jauh menuju kamp bantuan internasional. Tak ada apa-apa lagi di tanah mereka, kecuali bangkai-bangkai hewan bertebaran, sungai yang kering kerontang, dan perempuan serta anak-anak yang kurus kering bagai tengkorak. Kampung-kampung bagai gurun, tumbuhan meranggas. Tak ada hujan  turun selama tiga tahun. Mereka  menempuh jarak sepanjang 370 kilometer untuk mencapai kamp. Dengan perut kosong di tengah udara menyengat. Apa yang terjadi di Afrika (Somalia) adalah tragedi. Hasil dari setumpuk masalah: perubahan iklim, naiknya harga pangan, dan ketidakstabilan negeri selama beberpa dekade. Kekeringan sebelumnya dialami Somalia 19 tahun lalu. Seperti dimuat BBC, Perserikatan Bangsa-bangsa telah mendeklarasikan kejadian luar biasa di Somalia: kelaparan. Negeri ini mengalami kekeringan paling parah dalam kurun waktu setengah abad. Mati kelaparan sangat jarang kedengaran atau hampir tak ada di Indonesai. Meski kurang gizi mereka masih bisa makan. Mari membantu sesama yang kekurangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H