Hari Minggu kemarin (7/6) saya mengikuti acara sebuah komunitas travel yang berlangsung di sebuah hotel di bilangan Prawirotaman, Yogyakarta. Dua pembicara pertama menyampaikan materi tentang voluntourism, dan seorang pembicara di sesi terakhir berbicara tentang fotografi. Pembicara ini sudah cukup terkenal sebagai Travel Photoblogger dan menurut pengakuannya di tengah acara, ia sepenuhnya berkarya di bidang ini. Ia tentu saja eksis dan meraih sukses melaui media sosial. Selain Instagram misalnya, ia melengkapi diri dengan website pribadi dan portfolio.
Di tengah menikmati sesi yang diantarkannya, terselip lorong waktu yang mengantarkan saya teringat pada dua fotografer yang sempat saya kenal. Keduanya terbilang senior, namun mereka tidak dibesarkan oleh media sosial dan karenanya mungkin dapat dipastikan tidak dikenal oleh generasi baru pengguna gawai. Dan tentu saja, saat memulai aktivitas ini, keduanya belum mengenal istilah Travel Photoblogger, pun Travel Photographer.
Pertama yang melintas di benak saya adalah nama Paul I Zacharia. Artikel dan serenceng fotonya mudah ditemui di majalah sebuah maskapai penerbangan Indonesia. Jauh sebelum ini, kala sebuah majalah khusus fotografi terbitan Gramedia Majalah masih eksis, beliau terlibat rutin unjuk karya. Fotografi bukanlah pekerjaan utama lelaki dari Malang ini. Namun, ia tidak main-main untuk hobinya yang satu ini. Untuk mencapai eksis, ia meniti jalur kualitas. Termasuk berjerih lelah untuk mencatatkan namanya dalam keanggotaan di berbagai asosiasi fotografer paling elite dunia. Tak heran, Anda akan sering menjumpai namanya sebagai pembicara workshop fotografi atau dalam deretan dewan juri dalam banyak lomba foto bergengsi di tanah air.
Apa yang paling berharga dan tak terlupakan bagi saya dalam mengenal Bapak ini adalah saat berkunjung ke rumahnya di Malang. Saya diperbolehkan masuk, mengagumi, dan berbincang di perpustakan koleksi (slide) foto pribadinya. Bejibun dan tertata rapih. Sebuah harta karun tak ternilai yang merekam kekayaan momentum di berbagai pelosok Indonesia dan negara-negara lain yang pernah dikunjunginya. Saya berharap, apabila ke Malang lagi, masih diizinkan untuk terpesona pada perpustakaan visual ini, yang tentu telah membengkak berkali lipat.
Fotografer kedua yang tak akan pernah terlupakan oleh saya adalah “kakek” Steve Teo. Status domisili beliau di kartu nama sih di Singapura, namun secara rutin beliau blusukan dalam waktu panjang di Indonesia dan berbagai belahan dunia lain. Dalam lintasan perjalanannya di Indonesia, ia selalu menyempatkan diri melewati Yogyakarta dan menelepon saya untuk berjumpa. Lalu ia akan bercerita dengan takjub tentang keindahan alam dan seisinya yang dimiliki Indonesia. Misalnya, sambil memperlihatkan slide-slide ukuran besar, ia bertutur baru saja memotret monyet terkecil di dunia di Sulawesi Utara sana. Cerita bagaimana ia bisa mendapatkan momen-momen krusial, selalu seru untuk didengarkan; membuat saya terpesona sama seperti saat saya membaca kisah-kisah pemotretan oleh Alain Compost yang pernah menghiasi majalah Intisari.
Steve Teo telah malang melintang berkontribusi di berbagai media massa cetak, termasuk di majalah Intisari. Karya-karyanya banyak digunakan oleh berbagai produsen kalender di Indonesia yang berjaya pada masanya. Karena senior dalam karya dan usia, beliau diperlakukan dengan sangat respek oleh berbagai pihak dan mudah menembus momen-momen penting yang sejatinya hanya diizinkan bagi orang-orang yang berkepentingan. Saat Indonesia (seingat saya) pertama kali mengadakan even parade berlayar internasional, beliau bisa ikut berlayar bersama Esmeralda, kapal layar legendaris dan terbesar yang hadir saat itu. Bahkan di tengah pelayaran, beliau berkesempatan memotret kapal layar bertiang empat itu dari banyak sisi menggunakan kapal kecil yang mengeliling kapal itu.
Yang paling berharga dari mengenal Om Steve Teo adalah saat saya diajak pengambilan foto matahari terbit di Rawa Pening, Ambarawa (Jawa Tengah). Kami berangkat dari Ungaran sekitar jam dua subuh, menyewa perahu penduduk, dan nongkrong di kegelapan malam dalam goyangan ditemani eceng gondok. Dan, kesabaran kami dibayar lunas dengan nongolnya objek "kuning telur" ke-orange-an dari “dalam air” dalam gerakan slow motion di horison pandangan kami. Sejak "telur ceplok" raksasa itu nongol dari air rawa, beliau masih memotret sekian jam lagi. Entah berapa pak film isi 36 merek terkenal saat itu yang dihabiskannya. Nyaris dua belas jam waktu yang harus diinvestasikan untuk momen tersebut.
Selain kedua orang ini, saya tidak pernah bersentuhan (kehidupan) pribadi lagi dengan fotografer lain. Sore ini, saat mengisi waktu di depan Google, saya menemukan akun Facebook “tak aktif” Bapak Paul I Zacharia dan liputan aktivitas beliau dalam banyak even fotografi. Namun yang membuat saya sedih, sehebat apa pun Steve Teo, sosoknya tidak muncul dan tidak dikenang oleh Google. Namanya terselip, kata orang Jawa ketlingsut, dalam lipatan sejarah yang dicatat oleh media sosial. Samar saya masih ingat wajah dan sebagian karyanya yang menakjubkan. Dengan menuliskan ini, saya ingin memberi apresiasi dan menerakan nama beliau dalam ingatan Google. {}
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H