Di "negeri pencitraan", setidaknya dalam rentang sepuluh tahun terakhir, laku biasa bisa menuai respons luar biasa. Hal-hal yang dipandang "oasem" (asam), bergaris tipis menjadi "aosem" (awesome). Berbagai hal yang sejatinya amat human, direspons sebagai atau menjadi peristiwa human interest.
Itulah yang menimpa seorang Joko Widodo dan menjadi magnet untuk diangkat menjadi bahan perbincangan sejak beliau menginjakkan kaki di ibukota dalam peran sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pun tak luput sepanjang proses pilpres, hingga menjelang perhelatan pernikahan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Harian Kompas, Rabu 10 Juni 2015, menempatkan tulisan bertajuk "Anak Presiden, Anak Tukang Becak, Sama Saja" di halaman muka. Intro karya tulis Sonya Hellen Sinombor itu, bernas dan lugas:
Sebagai anak Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka (27), sebenarnya bisa menjadi "raja sehari" saat duduk di pelaminan bersama calon istrinya, Selvi Ananda Putri (24), di Istana Kepresidenan. Gibran bisa memilih mau di Istana Bogor, Cipanas, Jawa Barat, atau di Istana Negara, Jakarta. Namun, kesempatan itu ditepisnya jauh-jauh.
Dikutip pula ucapan langsung Gibran, "Mau anak Presiden, anak tukang becak, sama saja (kalau ingin mandiri)." Jawaban lugas itu menanggani pertanyaan wartawan Kompas mengapa sebagai anak Presiden ia tidak mau menggunakan fasilitas Istana, seperti pada era yang lalu.
Lalu, apa hal pertama yang memendarkan ricuh kecil di ranah ini? Tak lain status Facebook yang ditulis oleh Marco Kusumawijaya, founder dan direktur RUJAK Center for Urban Studies. Pendukung kritis dan rasional Jokowi saat pilpres ini menulis tidak terlalu panjang.
Semoga Ini Cukup
Saya sangat terharu membaca ini, sebab merasakan betapa tiba-tiba bangsa Indonesia mendapat berkah suatu tauladan yang sangat layak pada tempat yang sangat tinggi. Sesuatu yang sudah lama diperlukannya.
Semoga kita semua mampu menyadari berkah ini, dan menerimanya dengan baik.
Saya harap ini cukup.