Pada masanya sebagian generasi di Indonesia lahir di tengah keberadaan pedagang keliling; seiring waktu kita bertumbuh, segeralah mencatatnya sebab mereka kian senyap sebelum kelak mungkin segera lenyap.
"SEJAK kapan ada pedagang keliling di Indonesia?"
Inilah sebaris kalimat pertanyaan yang saya ajukan ke ChatGPT. (Saya juga mengajukan promt ini ke Gemini, Copilot, dan Deepseek. Namun demi keringkasan tulisan, saya hanya merujuk ChatGPT).
Pertanyaan yang mencuat atas rasa penasaran ini, ditanggapi ChatGPT dengan informasi memadai. Keberadaan pedagang keliling di Indonesia sudah dimulai sejak era kerajaan-kerajaan di nusantara, "hidup" sebelum era kolonial.
Jejak awal aktivitas mereka ditengarai sejak era nusantara kuno, sebelum abad ke-15. Jika ingin menelusurinya, kita akan menemukan berbagai format perdagangan tradisional yang eksis kala itu.
Mereka hadir di baik di masyarakat pedesaaan maupun di kota-kota pelabuhan. Bahkan dalam praktiknya, mereka bisa berpindah-pindah antardesa atau antarkota. Mereka menjual hasil bumi, rempah-rempah, atau kerajinan.
Dalam masyarakat Jawa dan Sumatra kuno, para pedagang keliling ini dikenal sebagai "sudagar". Mereka berkeliling seraya membawa barang dalam pikulan. Sebagian, sesuai konteks lokal, menggunakan perahu bila di wilayah pesisir.
Donggala: Cerita Kota dan Saya
SAYA mampir lahir dan tumbuh di pelosok Pulau Sulawesi. Di sebuah kota yang tak lagi menarik untuk dihampiri pendatang---bahkan terasa asing untuk sekadar disebutkan namanya. Satu-satunya yang bisa saya banggakan pada bertahun lampau adalah nama Donggala yang tercantum dalam permainan (board game) Monopoli.
Dulu, kota ini dikenal oleh Belanda. Setelahnya, namanya sempat tersebutkan di tahun-tahun random dalam rentang waktu yang panjang. Pembaca sastra lama, mungkin pernah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka. Namun, seberapa lekat nama ini di benak para pembaca novel?
Lebih dari itu, terlampau berat menandai kota ini dalam "Tetralogi Pulau Buru" dari Pramoedya Ananta Toer. Bahkan di dunia keartisan, fans aktor Ray Sahetapy generasi Facebook, tentu tak memusingkan di mana almarhum lahir. Bahkan, tatkala gempa besar dan tsunami melanda Sulawesi Tengah (2018), kota ini hanya disebut dalam selintasan di "banjir" kata-kata dan kalimat.