Dalam lanskap perbincangan kuliner heritage nusantara, Gudeg dan Yogyakarta adalah sepasang kekasih yang tak saling ingkar meski Kota Pelajar ini adalah tempat berlabuh segala yang lezat untuk disantap.
SETIAP kali tersebutkan nama Yogyakarta atau Jogja, dan melesat ke dalam benak, kerap tersanding nama Gudeg. Meskipun, walaupun, sekalipun, tak semua lidah menggemarinya sebagai santapan.
Mengingat hal ini, membawa ingatan saya terbang menembus setahun silam. Masih lekat dalam bayang-bayang, percakapan saya dengan seseorang asal Jakarta. Lebih tepat, penuturannya, yang ekspresif.
"Nah, Gudeg yang ini gue sih masih mau. Tapi Gudeg yang ... teeetttt ... (jenama Gudeg kesohor disensor), gak akan gue sentuh. Manisnya itu loh, bisa bikin gue diabet!" ungkapnya.
Gudeg bukanlah kata tunggal
Gudeg bukanlah kata tunggal, dia memiliki banyak wajah. Jika kamu menyimpulkan Gudeg itu sesuatu yang mutlak sesuai definisi yang kamu anut saat perjumpaan pertama dengannya, bersiaplah untuk meminta maaf.
Kamu akan tahu ini dengan baik, tentu bila kamu menyediakan waktu lebih lama saat berada di Jogja. Mainlah lebih jauh. Atau, makanlah lebih banyak di berbagai tempat.
Kelak kamu akan tahu bahwa berdasarkan volume cairan pada hidangan ini, kamu akan mengenal dua tipe Gudeg. Ada yang bernama Gudeg kering, ada pula yang disebut Gudeg basah.
Berbasis bahan utama sajian, mungkin kamu sudah tahu tentang ini. Namun izinkan saya mengiyakan bahwa di Yogyakarta kamu akan menjumpai banyak Gudeg yang disajikan dengan nasi putih.
Fakta berikut, tak akan mengurangi informasi yang telah kamu tanamkan dengan baik dalam kenangan. Bahwa, di tempat tertentu di Yogyakarta, Gudeg juga disajikan bersama bubur.